Cibiran demi cibiran sudah sering ia dapatkan. Hidup di kelilingi orang-orang yang sibuk mengurusi kehidupan orang lain sudah ia rasakan sejak kecil. Bahkan ketika orangtuanya berpisah, ia juga menjadi korban buah bibir tetangga. Bukannya bersimpati, orang-orang malah menertawakannya dan menyumpahi hal yang begitu jahat.
Kini, ia bukan lagi gadis pendiam seperti dulu. Ia tumbuh menjadi gadis cantik yang pemberani. Siapa saja yang mengusik kesehariannya akan ia usik balik dengan hal yang tidak terduga.
"Lo tahu gak, anaknya Bu Siti yang kuliah di luar negeri itu? Dia hamil dan gak tahu siapa bapaknya."
"Oh, iya, gue juga baru dengar sih dari nyokap gue. Katanya beasiswanya dicabut ya? Kasihan banget."
"Hu'um. Bu Siti masih punya muka gak ya buat lewat depan kita? Dulu kan itu anak yang dia banggain karena kuliah ke luar negeri. Sekarang lihat, anaknya bikin aib."
Derai tawa menggema dari 3 gadis berkerudung yang baru saja melintasi perkarangan rumah Zaina. Salah satu dari gadis berkerudung itu menoleh saat pintu rumah yang baru saja ia lewati terbuka.
"Na, bareng gak?" tanyanya sedikit berteriak.
Zaina, gadis yang terkenal berpenampialn terbuka itu hanya melambaikan tangan tanda menolak. Ketiga gadis di sana sontak mencibir dan kembali melangkah sambil membicarakan target berikutnya.
"Itu anak gak ada malunya ya. Orangtuanya cerai bukannya hidup makin baik, malah makin gak karuan."
"Hm. Gue yakin sih kalau si Zaina itu simpanan om-om berduit. Lo gak lihat gimana gayanya ke kampus? Ditambah lagi barang-barang branded yang dia pakai."
"Bukannya orangtua dia kaya, ya?"
"Dulu iya. Pas cerai kan bokapnya sempat di penjara karena kasus penipuan dan penggelapan dana perusahaannya. Terus nyokapnya juga selingkuh, kan?"
"Tapi kok nyokapnya gak nikah-nikah lagi ya? Mana udah lama menjanda. Gak kesepian itu tidur sendirian?"
Ketiga gadis itu kembali tertawa. Kali ini lebih lepas dan tidak tahu kalau orang yang tengah mereka bicarakan mendengar semuanya.
"Katanya bokap lo habis dipecat ya? Gatel ke rekan kerjanya. Padahal haji loh ya," ujar Zaina sambil mensejajarkan langkah dengan gadis kerudung putih yang sejak awal terlalu bersemangat menceritakan keluarganya.
Gadis itu menghentikan langkahnya sehingga Zaina juga ikut berhenti sambil menatap dengan polos ke arahnya.
"Ayo, gue mau bareng jalan kaki sama kalian. Capek naik mobil mewah mulu. Sesekali pengin ngerasain jalan kaki kayak orang susah yang banyak bacotnya," Zaina tersenyum saat mengatakan itu. Terlihat enteng keluar dari mulutnya.
Gadis itu tidak berani bersuara meski kedua tangannya kini terkepal erat. Wajahnya merah padam menahan kemarahan. Kalimat yang Zaina ucapkan sungguh keterlaluan.
"Beneran bokap lo dipecat?" tanya temannya yang lain.
Zaina menatap gadis itu dengan bersedekap dada. "Gue duluan deh ya. Kayaknya lo butuh waktu buat nenangin diri. Bye guys!"
Zaina tersenyum puas sambil melangkah meninggalkan ketiga gadis tak beretika baik tersebut. Salah satu alasan Zaina sampai saat ini belum siap memperbaiki penampilannya adalah ucapannya. Zaina tidak mau seperti ketiga gadis itu. Berpenampilan sangat sopan tapi omongannya masih jahat. Setidaknya disesuaikanlah.
Zaina tiba di kampus setelah 10 menit berjalan kaki. Letak kampsunya memang tidak terlalu jauh dari perumahan mereka. Bukan Zaina yang memilih ingin berkuliah di sini. Tapi ibunya.
Zaina memasuki kelas, lalu mendengkus menatap seseorang sudah lebih dulu menempati kursi yang biasa ia duduki. Zaina melirik kursi kosong lainnya dan sialnya hanya tersisa di bagian depan. Mau tidak mau, Zaina akhirnya memilih duduk di deretan kursi depan yang berhadapan dengan meja dosen.
"Apes banget gara-gara trio julid itu," gumamnya.
Seseorang baru saja memasuki kelas dan Zaina menelan ludah. Pria itu yang mengantar Zaina pulang tadi malam. Pria yang menggendongnya saat Zaina hampir limbung karena kebanyakan minum.
Mabuk memang menyenangkan. Zaina bisa lupa sejenak masalahnya. Tapi setelah sadar, ia akan menyesal karena telah membuat ulah yang pastinya akan melibatkan banyak orang.
"Selamat pagi semuanya," sapa pria itu.
"Selamat pagi, Pak," sahut teman-teman sekelas Zaina.
"Apa kita perlu berkenalan lebih dulu? Mungkin ada yang belum mengenal saya," kata pria itu sambil tersenyum ramah.
"Perlu, Pak!"
Para mahasiswi yang tampak begitu bersemangat. Pria di depan kelas tertawa dan mengangguk. Ia mulai menulis namanya di papan tulis dengan tulisan yang sangat menarik perhatian Zaina. Karena selama ia bersekolah, jarang seorang pria mempunyai tulisan rapi dan enak dilihat seperti saat ini.
"Ini nama saya. Saya dosen termuda di kampus ini."
"Sudah tahu, Pak!"
"Dosen paling ganteng juga!"
"Hobinya apa, Pak?"
"Nomor WA berapa, Pak?"
"Status, Pak?"
Semua mahasiswi saling menyahut untuk memberikan suara. Hanya Zaina yang tidak tertarik. Ia lebih memilih memainkan pulpen di tangannya tanpa menatap pria di depannya.
"Status saya... dosen."
Sorak-sorak kecewa membuat pria itu tertawa. "Bisa kita mulai kelasnya? Saya akan absen lebih dahulu biar saya juga tahu nama-nama kalian," lanjutnya.
Posisi Zaina yang duduk di bangku paling depan, membuat posisi duduknya yang begitu anggun menarik perhatian sang dosen. Pria itu melirik sekilas paha mulus Zaina sebelum menatap lembar absen di atas meja.
Semua nama sudah ia panggil dan pikirannya berkelana lama pada nama Zaina. Mirip dengan namanya. Apakah mereka berjodoh? Entahlah. Hanya penulis yang tahu.
Kelas usai setelah waktu berlalu sekitar 90 menit. Dosen itu sudah meninggalkan kelas. Zaina menoleh ke belakang di mana ia biasa duduk. Seorang gadis yang sudah menempati kursi itu menatap Zaina juga.
"Kenapa? Lo mau di sini?" tanyanya dengan ekspresi sengit.
Zaina membuang muka setelah memberikan senyuman sinis. Ia meraih ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada nomor gadis di belakang. Senyum Zaina seketika mengembang saat mendengar gadis itu menjerit kesal, lalu mendatanginya.
"Mau lo apa sih anjing?!" maki gadis itu sambil mendorong bahu Zaina.
"Loh? Kok ngamuk? Gue diem aja loh dari tadi," balas Zaina dengan polos. Ia berdiri sehingga tinggi mereka sejajar.
Semua teman-teman sekelasnya mulai memperhatikan dalam diam. Setiap hari mereka akan melihat perdebatan sengit antara Zaina dan gadis itu. Ini sudah biasa terjadi sejak Zaina dekat dengan kekasih gadis itu.
"Lo emang cewek murahan," kesal gadis itu di depan wajah Zaina.
"Cowok lo juga dong. Kan yang gue cium cowok lo. Btw, cowok lo agresif juga ya," bisik Zaina dengan begitu lembut di depan wajah gadis itu.
"Anjing! Lo emang gak tahu diri!"
"Lo yang gak tahu diri. Nuduh gue kegatelan sama cowok lo. Nuduh gue rebut cowok lo. Daripada dituduh mulu, mending gue rebut sekalian. Eh, lo nya dibuang ya?Gimana? Mau adu skill sama gue?"
Gadis itu tidak lagi membalas karena kini lelaki yang tengah mereka bincangkan memasuki kelas. Zaina menoleh dengan senyuman manis.
"Lehernya merah-merah karena bibir gue. Lo pernah bikin gak? Gak pernah ya? Gak dikasih izin? Kasihan."
***
Btw btw btw....
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...