"Daya?"
"Hm?"
Adara mengalihkan pandangannya yang semula terfokus di ponsel kini menatap Qin. Bocah itu tengah berbaring di atas kasurnya dan sebelah tangannya memegang botol susu yang sudah kosong.
"Nambah?" tanya Adara saat Qin mengulurkan botol itu padanya.
"Gak. Nenek bikin teyyayu manis," keluhnya.
Adara terkekeh. Posisinya yang berada di sebelah Qin membuatnya mudah untuk mengacak gemas rambut sebahu bocah itu. Rambut Qin sangat halus dan wangi. Meskipun kerjaannya bermain dan berkeringat, tapi Adara tidak lalai untuk tetap merawat tubuh Qin dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Adara bisa dimarahi Anwar kalau sampai anak kesayangannya ini kucel dan mendadak buluk. Selain gajinya sebagai anak magang tidak diberikan Anwar, bisa-bisa nilainya juga tidak keluar.
"Kenapa kamu panggil aku?" tanya Adara saat ia selesai meletakkan botol susu Qin ke atas meja kecil di sebelah ranjangnya.
"Papi kenapa gak punya istyi? Kayak Oma, kayak Nenek. Kayak Bu Syi juga. Meyeka itu istyi."
Adara menelan ludah. Kenapa pertanyaan bocah itu mendadak sulit untuk ia jawab sih? Dan lagian juga kenapa bocah itu menanyakan hal yang tidak Adara ketahui juga.
"Kamu tanya Papi kamu deh. Aku gak tahu. Aku kan baru kerja sama Papi kamu 4 bulan ini."
"Iya juga ya. Kamu kan anak magang. Bukan kayiawan Papi."
Adara mencebikkan bibir. Bocah tengil. "Mau telpon Papi gak?"
"Boyeh?" tanya Qin berbinar.
"Boleh. Sebentar," Adara mengirimi pesan terlebih dahulu kepada Anwar. Ia tidak mau langsung menelpon karena bisa saja pria itu sedang sibuk.
Pesan Adara tak terbalas meski sudah bercentang biru. Berselang beberapa detik, panggilan video masuk dari Anwar. Adara menerimanya dan langsung mengarahkan layar ponsel ke wajah cantik Qin.
"Halo, Princess," sapa Anwar dengan senyum terkembang.
"Hayo, Papi. Yagi apa?"
"Baru selesai solat. Kamu lagi apa?" Anwar bertanya balik.
"Bayu seyesai minum susu. Iya, kan, Daya?"
Qin mendongak menatap Adara yang setia di sebalahnya sambil memperhatikan wajah Anwar yang menghiasi layar ponselnya. Entah kenapa Adara menggigit bibir saat melihat bibir merah muda Anwar. Sial. Otak kotornya kenapa bisa berulah di saat seperti ini sih? Biasanya Adara hanya memikirkan karakter fiksi yang tak kasat mata saja.
"Daya, jawab. Mayah bengong."
Adara sedikit terkejut dengan omelan Qin. Bocah itu bahkan sampai memberengut menatapnya. Adara meringis, lalu mengelus kepala Qin.
"Iya."
"Udah makan?"
"Udah. Disuapi Nenek yagi. Di sini makannya enak-enak, Papi. Gak kayak di yumah. Pedes-pedes kayak muyut Bu Syi," Qin mulai berceloteh.
Anwar tertawa. Adara juga sama. Qin sudah hafal dengan kebiasaan pelayan di rumahnya. Bahkan bocah itu tidak ada takutnya menegur jika pelayan itu mengerjakan hal yang salah. Apalagi saat Anwar tidak di rumah, para pelayan merasa bebas dan bisa menyetel musik sekeras yang mereka mau.
"Papi, nanti ajak Daya tinggay sama kita ya. Aku mau ada teman bobok," pinta Qin.
"Tanya Daya dong. Mau gak?"
"Pasti mau. Daya kan bestie aku," kata Qin dengan gaya songongnya.
"Ih, aku belum bilang mau ya," sela Adara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...