Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.
*
*
*Matahari terbit dari timur menandakan malam telah berlalu digantikan pagi. Aku bangun dari tempat tidur, mengambil handuk lalu berjalan ke arah kamar mandi. Aku melepaskan pakaian dan mulai membasuh tubuhku sambil bernyanyi dengan menjadikan shower sebagai mic dan berlaga seolah sedang berada di atas panggung konser.
"dynanana..nana..nanae"
"dynanana..nana..nanae"
"dynanana..nana..nanae"
"Light it up like dynemite"
Setelah selesai membasuh badan, aku memakai handuk lalu mengeringkan rambutku yang basah menggunakan hairdayer sambil terus menyanyikan lagu dari idol Korea favoritku.
Selesai mengeringkan rambut, aku memakai seragam sekolah lalu berjalan ke arah meja rias. Kupoleskan sedikit bedak di wajahku dan liptint berwarna merah muda di bibirku, tidak perlu dandan berlebihan karena wajahku sudah terlihat cantik walau hanya dibalut make up tipis. Yap, aku sudah siap ke sekolah.
"Mala sayang. Ayo turun, sarapan dulu!" panggil mamaku dari lantai bawah. Sebenarnya namaku Kemala tapi orang yang dekat denganku biasa memanggilku Mala.
"Iya Ma" jawabku
Aku mengambil tas yang tergantung di samping meja belajar lalu turun ke bawah untuk sarapan.
Sarapan berlalu dengan tenang. Aku maupun Mama tidak ada yang bicara. Sudah jadi kebiasaan kami untuk makan sambil diam. Katanya, tidak sopan berbicara saat makan.
"Hati-hati di jalan. Kalau mau nyebrang jangan berhenti di tengah jalan, nanti kalau lampu penyebrangannya merah pas kamu ada ditengah 'kan bahaya" kata Mama memperingatkanku.
"Iya Ma. Aku ʼkan bukan anak kecil lagi" kataku sambil mencium tangan Mama.
___________________________________________
Mataku menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan sahabatku, Batara. Batara adalah sahabatku dari kecil, sampai sekarang kami selalu bersama. Berangkat sekolah bersama, bermain bersama, sedih dan senang pun sudah kami lalui bersama. Terkadang orang lain menganggap kita pacaran.
"Morning Lala" sapa Batara merangkul bahuku dari belakang
"Pagi Baba" balasku. Baba adalah panggilan 'sayangku' untuk Batara dan Lala adalah panggilan 'sayang' Batara untukku.
"Udah siap ke sekolah?" tanyanya
"Siap dong" jawabku dengan percaya diri
Kami pun berjalan bersama menuju sekolah. Sekolah kami tidak mengizinkan muridnya untuk membawa kendaraan sebelum cukup umur dan memiliki kartu SIM, kebanyakan siswa yang belum memiliki SIM memilih untuk naik bus atau diantar orang tuanya.
Jarak rumahku dan Baba cukup dekat dengan sekolah. Jadi, kami memilih berjalan kaki untuk menghemat uang sekaligus olahraga.15 menit kemudian kami sampai di sekolah. Aku dan Baba berbeda kelas, dia jurusan IPS sedangkan aku jurusan Sastra dan Budaya. Ya, di sekolahku ada beberapa jurusan yang jarang ada di sekolah lain. Semuanya ada lima jurusan, dari yang lumrah seperti IPA dan IPS sampai yang jarang seperti Sastra Budaya, Bahasa, dan Keagamaan.
Jam pertama hari ini adalah pelajaran Teks Fiksi. Guru mulai menjelaskan materi di depan kelas.
"Hari ini kita akan membahas cerita legenda yang sudah banyak dikenal orang. Siapa yang tidak tahu cerita ini? Cerita yang dipercaya sebagai asal usul Gunung Tangkuban Perahu. Untuk mengingat kembali ceritanya, Ibu panggil satu orang dari absen buat menceritakan di depan!"
Bu guru memanggil salah satu murid dari absen paling bawah. Siswa itu maju ke depan dan mulai bercerita. Selama cerita berjalan, tidak ada orang yang mengobrol. Semuanya mendengarkan dengan seksama, walaupun sebenarnya sudah tahu alurnya.
"Sangkuriang menendang perahunya sampai terbalik kemudian jadilah Gunung Tangkuban Perahu."
"Bagus, kamu boleh duduk kembali. Berikan tepuk tangan!"
Prok
Prok
Prok
Semua orang di kelas memberikan tepuk tangan sebagai apresiasi.
"Cukup tepuk tangannya! Sekarang ibu mau tanya, adakah yang bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut?"
"Jangan kencing sembarangan, Bu!"
"Nikah sama manusia, bukan anjing!"
"Gak boleh jatuh cinta sama ibu sendiri!"
"Kalau bikin cerita, jangan sambil mabok kecubung!"
Aku menahan tawa mendengar semua jawaban itu. Sungguh, tidak ada yang benar. Tapi cerita asal usul Gunung Tangkuban Perahu ini memang tidak masuk akal.
Mulai dari seorang anak yang lahir dari seekor babi yang tidak sengaja meminum air seni raja, sampai anak yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri karena kecantikannya. Walaupun Sangkuriang tidak tahu dan tidak percaya Dayang Sumbi ibunya, tetapi mana mungkin ia tidak ingat wajah ibunya sendiri.
Bu guru hanya menggelengkan kepalanya mendengar jawaban dari murid-muridnya. Ia kemudian lanjut menjelaskan materi dan memberikan tugas untuk kami kerjakan.
___________________________________________Aku dan Batara pulang bersama. Selama perjalanan, kami berbagi cerita. Bergantian menceritakan ada kejadian apa yang terjadi di sekolah.
Langkah kaki kami berhenti untuk menunggu lampu penyebrangan berubah hijau. Ting..lampu berubah menjadi hijau. Aku dan baba berjalan melewati zebra cross, tiba-tiba hp ku jatuh dari saku tepat saat aku berada di tengah-tengah zebra cross. Aku pun berhenti melangkah untuk mengambil handphone, sedangkan Baba berjalan di depan mendahuluiku.
Saat aku berdiri dan mengecek apa ada yang rusak di handphoneku terdengar suara klakson dari kejauhan. Ternyata lampu menyebrang sudah kembali merah.
BRAK..
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrakku sebelum aku sempat menghindar.
"KEMALA!" Sayup-sayup aku mendengar teriakan Baba yang memanggil namaku.
Aku merasakan sesuatu mengalir melewati pipiku, kepalaku terasa begitu berat. Ah..Baba. Dia masih terus memanggil namaku. Perlahan semuanya menjadi gelap dan suara Baba sudah tidak terdengar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemala di tanah Parahyangan
FantasyKemala hanyalah seorang siswi SMA biasa. Suatu ketika, ia tertabrak oleh mobil dan terlempar ke dunia antah berantah. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Sangkuriang. Ini adalah kisah Kemala di tanah Parahyangan. Tempat dimana legenda...