14. Pindah Tugas

1.3K 194 3
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

Sudah seminggu sejak aku kembali bekerja seperti biasanya. Aku senang bisa bekerja menjadi pelayan Dayang Sumbi, tapi apa-apaan ini? Aku tiba-tiba saja dipindah tugaskan menjadi pelayan Prabu Sungging Purbangkara. Aku juga harus pindah ke rumah wanita karena Sangkuriang pergi ke asrama prajurit.

Malam ini aku sudah pindah dan tidur di rumah baru bersama dua gadis lain, salah satunya adalah Sinta si pelayan dapur kerajaan. Satu orang lainnya bernama Marni, pelayan yang bertugas membersihkan lorong istana.

Baru hari pertama bekerja, perasaanku sudah tidak enak saja. Bagaimana tidak? Aku langsung disuruh untuk memandikan raja bersama tiga pelayan lainnya. Jujur, aku takut. Prabu Sungging Purbangkara kan terkenal genit. Terlihat dari para pelayannya yang berparas ayu.

''Kemala, kenapa kau hanya berdiri saja? Cepat lakukan tugasmu!" bisik Lastri, pelayan yang bertugas sama sepertiku, melepaskan semua perhiasan dan pakaian di tubuh Raja.

Aku mengangguk pelan, kemudian mulai melepaskan semua perhiasan yang tersisa di tubuh raja hingga tinggal kain yang menutupi tubuh bagian bawahnya saja.

''Buka!"

''Ya?" aku mencoba memastikan kalau aku salah dengar.

''Buka kainnya. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mandi?"

Aku terdiam. Kenapa ia tidak membukanya sendiri? Dia punya tangan kan? Ah, kenapa para bangsawan ini begitu manja?

Ketiga pelayan lain menatapku dengan tajam. Takut terkena masalah, aku pun perlahan membuka kain itu dengan mata tertutup sampai aku yakin Gusti Prabu sudah berada di kolam mandinya.

Setelah Gusti Prabu masuk ke dalam kolam, tubuhnya mulai dibasuh. Lastri dan seorang pelayan lain tengah membersihkan tangan Gusti Prabut, seorang lainnya memijat kulit kepala beliau, sedangkan aku bertugas menyiramkan air ke tubuh sang raja.

''Berhenti!" ucap Prabu Sungging Purbangkara. Matanya yang semula terpejam seketika terbuka.

Kami berempat berhenti dari kegiatan masing-masing, saling melempar tatapan seolah bertanya apakah ada yang melakukan kesalahan.

''Kalian semua keluar, hanya Kemala yang boleh tinggal!"

Deg!

Apa yang...? Tu-tunggu, kenapa kalian pergi? Tidak adakah yang mau tetap tinggal.

Aku melihat Lastri melirikku sejenak sebelum keluar ruangan. Aku tak mengerti arti tatapannya, yang pasti itu bukan hal yang baik.

''Kemala...'' Prabu Sungging Purbangkara memanggilku, namun tidak mengatakan apapun lagi. Ia malah menepuk lengannya sebanyak tiga kali.

Aku menangkap itu sebagai kode agar aku memijat lengannya. Aku pun menghampiri pria itu dan duduk di tepian kolam. Kuambil alih tangan kanannya dan mulai memijatnya. Matanya terpejam, mungkin ia menikmatinya.

''Kau punya bakat dalam memijat, Kemala!" pujinya masih dengan mata terpejam.

Aku hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum simpul.

Baru saja aku merasa tenang, tiba-tiba aku dikagetkan olehnya yang memutar tubuh hingga berhadapan denganku. Tangan yang tadinya kupijat kini ada di daguku.

''Kau bilang, kau hanya rakyat jelata bukan? Tapi bagaimana bisa seorang rakyat jelata memiliki paras jelita seperti ini?" ujarnya sembari mengamati wajahku dengan seksama.

''Mu-mungkin ini karunia Tuhan, Gusti Prabu!" kataku dengan terbata.

''Kau benar, mungkin Sang Hyang Rumuhun memberkatimu dengan wajah rupawan ini agar bisa berjumpa denganku,'' Gusti Prabu mengatakan itu dengan tangan yang tidak bisa diam.

Tangan yang tadinya di dagu, bergerak turun ke leher, pundak, lengan, lalu...dadaku? Aku langsung menepis tangannya sejak detik pertama tangan biadab itu berlabuh di sana.

Awalnya dia nampak terkejut, lalu setelahnya pria tua itu menyeringai.

''Ternyata kau gadis kecil yang pembangkang!"

Aku berucap lirih, "Itu tadi tidak sopan, Gusti Prabu!"

''Apa yang ada di Keraton ini adalah milikku. Tanah, kekayaan, sumber daya, bahkan dirimu!" setelah mengatakan itu, ia menarik tanganku sampai aku terjatuh ke dalam kolam.

Kolamnya memang tidak dalam, hanya sebatas pusar. Tapi aku terkejut. Bajuku basah kuyup, sanggulku juga rusak. Rambutku jadi tergerai begitu saja.

Belum sempat mencerna apa yang terjadi, Prabu Sungging Purbangkara malah menarik pinggangku sehingga tubuhku menempel padanya. Ibu jarinya mengusap bibir bawahku dan wajahnya semakin dekat.

''Melihat reaksimu, sepertinya ini kali pertama kamu berada sedekat ini bersama seorang pria.''

Aku takut, benar-benar takut. Napasku tercekik, mulutku tak bisa bersuara, tubuhku gemetar. Ibu, hiks tolong!

''Gusti Prabu!"

Marlina?!
______________________________________________

Aku membaringkan tubuh di atas samak. Menghela napas berat tanda lelah. Kejadian tadi cukup membuatku shock. Terima kasih kepada Marlina yang datang tepat waktu. Aku jadi bisa melarikan diri dari pria tua cabul itu.

Dari awal aku sudah curiga dengan kepindahanku ini.  Prabu Sungging Purbangkara selalu berburu gadis muda cantik untuk menjadi teman tidurnya. Entah itu dari kalangan warga desa, ataupun para pelayan di kerajaannya. Mungkin aku adalah sasaran empuk baginya.

''Hari yang berat bukan, Kemala?"

Aku melihat ke arah pintu masuk. Marni baru saja masuk lewat sana. Tiap kali ia berjalan, decit lantai kayu selalu terdengar.

''Begitulah!"

''Terkadang aku bersyukur karena tidak memiliki wajah yang cantik. Wanita cantik selalu terlibat masalah dengan pria," kata Marni sambil menggelar alas tidur.

Pasti sudah menjadi rahasia umum kalau Raja Parahyangan itu gila wanita.

''Di mana Sinta?" tanyaku bertujuan mengalihkan pembicaraan.

''Entahlah, mungkin sedang bersama kekasihnya. Padahal sudah berulang kali aku mengatakan untuk putuskan saja hubungannya dengan pria itu, tapi ia tak mau dengar. Pria itu sama saja dengan Gusti Prabu, sama-sama mata keranjang," Marni bicara panjang lebar. Padahal aku hanya bertanya sedikit.

''Memang siapa kekasihnya?"

''Tuan Astraloka. Kau pasti kenal kan? Tak ada satu pun gadis cantik yang luput dari pandangannya. Dia pasti pernah menggodamu juga kan? Tapi sepertinya kamu bukan tipe wanita yang mudah luluh."

Ah, pria bajingan itu. Ya ampun, jadi Sinta itu kekasihnya? Tapi dia malah menggoda wanita lain? Aku yakin kekasihnya bukan hanya Sinta.

Ngomong-ngomong, Marni ternyata tipe orang yang banyak bicara ya. Pasti dia tahu banyak gosip panas. 

''Sifat tuan Astraloka dan tuan Raganata sangat berbeda ya? Padahal mereka saudara."

Aku manggut-manggut mendengar pernyataan Marni. Tapi, tunggu...

''Apa? Saudara?" tanyaku memastikan.

''Iya, kamu tidak tahu?''

Tidak, Marni. Aku tidak tahu. Mereka terlalu berbeda dalam segala hal untuk disebut saudara.

''Tapi mereka beda ibu.''

Ah...sekarang aku mengerti kenapa mereka tidak akur.




Bersambung...

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang