2. Sangkuriang?

2.1K 261 9
                                    

Aku terbangun di tengah hutan asing setelah tertabrak mobil. Pohon-pohon besar mengelilingiku, udara dingin yang menusuk hingga ketulang, dan suara-suara aneh yang saling bersautan. Hutan ini begitu menakutkan membuat bulu kudukku bergetar.

Kepalaku terasa begitu sakit, aku menyentuh keningku saat merasakan ada sesuatu yang mengalir di, ini..darah? Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha bangkit dan berjalan untuk mencari jalan keluar dari hutan tanpa memerdulikan darah yang mengucur dari dahi melewati pelipisku.

Semakin jauh aku berjalan, semakin dalam pula masuk ke dalam hutan. Pemandangannya terlihat sama. Aku seperti hanya berputar-putar di satu tempat. Hutan ini juga gelap, hanya cahaya bulan dan bintang lah yang menjadi penerang.

Krik krik

Guk guk auuu

Kuku kuku

Aku mengusap tengkuk. Suara-suara dari bermacam hewan nokturnal dan hawa dingin angin malam lagi-lagi membuatku merinding. Ku percepat langkah kakiku, walaupun tidak tahu arah yang dituju.

Setelah berjalan beberapa meter aku mulai merasakan pusing di kepala. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir rasa pusing, tetapi itu tidak berhasil. Setelah beberapa langkah berjalan sempoyongan, tubuhku ambruk jatuh ke tanah karena kehabisan tenaga. Darah segar terus saja keluar dari luka di dahiku dan penglihatanku mulai buram, samar-samar aku melihat bayangan seseorang mendekat. Aku berusaha membuka mulutku yang tertutup rapat.

"Tolong..aku!" lirihku sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

___________________________________________

Perlahan aku membuka mata. Lagi-lagi tempat yang asing. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya dinding batu. Bahkan alas tempatku berbaring ini juga batu. Aku tidak tahu ini dimana, tapi ini terlihat seperti...gua?

"Anda sudah bangun? Syukurlah!" kata seorang pria yang tidak aku kenal.

Dia berjalan ke arahku sambil membawa wadah berisi benda hijau seperti tumbuhan yang dihaluskan didalamnya. Penampilannya sangat aneh. Dia hanya menggunakan celana dan ikat kepala saja, sedangkan tubuh bagian atasnya telanjang.

Ngomong-ngomong, pria itu memiliki tubuh yang bagus. Otot bisepnya yang padat, urat-urat yang menonjol di sepanjang lengannya, juga enam tonjolan berbentuk persegi di perutnya. Pipiku sedikit memerah karenanya.

"Ah maafkan ketidak sopanan saya. Izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Sangkuriang," ujarnya memperkenalkan diri sebagai Sangkuriang.

Tunggu, Sangkuriang? Bukankah itu nama salah satu tokoh di cerita legenda Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu? Apa ini hanya kebetulan?

"Ada apa? Kenapa anda diam saja? Apa ada yang sakit?" tanyanya membuyarkan pikiranku.

"Bu-bukan apa-apa kok," jawabku gelagapan.

Aku berusaha untuk bangun, tetapi usahaku dihentikan olehnya. "Eh jangan bangun dulu, luka anda masih belum pulih" aku pun kembali membaringkan tubuh di atas batu.

"Berapa lama aku pingsan?" aku bertanya kepadanya. Dia terlihat seperti mengira-ngira.

"Mungkin sekitar dua atau tiga hari," jawabnya. Aku tercengang. Apa sudah selama itu aku pingsan?

"Ini dimana?" tanyaku lagi

"Gua tempat tinggal saya!" jawabnya yang membuatku mengerutkan dahi. Tempat tinggal? Memangnya masih ada orang yang tinggal di gua?

"Saya memang tinggal di gua tapi penduduk lainnya tinggal di desa. Saya tinggal disini karena ada alasan tertentu," katanya seolah menjawab kebingunganku.

"apa anda ingat siapa diri anda? Nama dan tempat tinggal anda?"

"Namaku Kemala."

"Tempat tinggal anda?" aku menggeleng sebagai jawaban. Bukannya aku benar-benar tidak ingat. Hanya saja aku tidak yakin untuk mengatakan itu padanya.

"Anda tidak ingat dimana anda tinggal?" sekali lagi aku menggelengkan kepala.

"Yang aku ingat hanya namaku saja. Selebihnya aku tidak tahu."

Pria itu tampak berpikir sejenak. Beberapa detik kemudian ia mengeluarkan nafas panjang.

"Baiklah sudah saya putuskan. Karena anda tidak ingat apa pun selain nama dan anda juga sedang terluka, jadi saya akan merawat anda sampai anda sembuh dan ingat sesuatu."

Aku tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih. Ya ampun, tolong maafkan aku tuan yang tampan. Aku terpaksa berbohong. Kalau pun aku mengatakan yang sesungguhnya, kamu pasti tak akan percaya.

Aku tidak tahu pasti sedang berada di mana. Lebih baik aku cari aman saja. Tak apa jika harus tinggal berdua saja di dalam gua ini. Sepertinya dia pria yang baik. Mungkin aku akan aman bersamanya.

"Oh, saya baru ingat. Saya minta maaf. Saya tahu ini tidak sopan, tapi saya terpaksa mengganti pakaian anda," lanjutnya lalu meninggalkanku yang sedang mematung karena mendengar pernyataannya.

___________________________________________

Sudah seminggu sejak aku pertama kali datang ke tempat ini. Aku telah mengumpulkan informasi selama seminggu ini. Dari semua informasi itu aku menyimpulkan kalau aku masuk ke dalam cerita Gunung Tangkuban Perahu.

Awalnya aku tidak percaya, tapi semua hal menunjuk ke arah sana. Terutama cerita hidup dari orang yang mengaku sebagai Sangkuriang, ceritanya sangat mirip dengan tokoh Sangkuriang dari cerita Gunung Tangkuban Perahu. Dia di usir oleh ibunya karena telah membunuh seekor anjing yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Dan ya, nama anjing itu juga Tumang.

Semakin hari aku semakin terbiasa. Tinggal di hutan ternyata tidak buruk juga. Pemandangannya di siang hari sangat berbeda dengan saat malam. Pepohonan yang menjulang tinggi dengan daun hijau, udara yang sejuk tanpa polusi, air sungai yang jernih, dan jika ingin buah-buahan tinggal petik langsung dari pohonnya.

Walaupun jujur, aku rindu ibu, rindu batara, juga rindu segala hal di dunia modern. Di sini tidak ada gadget atau televisi. Andai saja aku tahu caranya untuk pulang.

"Kemala, apa masih lama mencucinya?" tanya Sangkuriang yang datang sambil membawa keranjang penuh buah.

"Iya, ada beberapa kain yang belum dicuci!" jawabku.

Pagi tadi, Sangkuriang mengajakku pergi mencari makanan. Lalu aku teringat dengan setumpuk kain kotor yang belum dicuci, jadi aku berinisiatif untuk mencucinya di sungai. Walaupun ada pakaian milik Sangkuriang, tapi aku tak malu. Baju yang dipakai hanya secarik kain, celana, ikat kepala, juga rompi yang kadang dipakai kadang tidak. Milikku juga hanya kemben dan selendang. Aku maupun Sangkuriang hanya punya dua pasang saja. Satu yang dipakai, satu lagi sebagai ganti. Sangkuriang bilang, pakaian ini dia ambil dari barang-barang tidak terpakai.

Ngomong-ngomong tentang sungai, hari ini airnya sangat tenang. Cuaca yang cerah namun tidak terik, angin sepoi-sepoi yang menyegarkan, juga burung yang berkicau merdu. Suasana yang tenang seperti biasanya. Aku suka perasaan ini.

"Kalau kamu masih lama, saya tinggal cari ikan dahulu ya?" tanyanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Setelah itu, Sangkuriang berjalan ke tengah sungai untuk menangkap ikan. Dia tak perlu alat untuk menangkapnya, pakai tangan kosong saja sudah cukup. Percaya lah, dia sangat hebat. Aku pernah dengar dari kakek, kalau orang jaman dulu itu punya ilmu yang tidak dimiliki orang modern. Beberapa dari mereka sakti mandra guna. Tak sangka aku bisa melihat salah satunya.

Aku kembali mengucek kain jarik yang tengah dicuci. Sesekali mataku melirik kepada Sangkuriang. Dia sudah mendapat satu ikan di tangannya. Bagus, menu makan siang hari ini ikan segar.

*
*
*

Sekedar info

Alasan aku ambil film Sangkuriang 1982 sebagai acuan adalah karena menurutku jalan ceritanya lebih masuk akal aja. Di sana asal usul si Tumang lebih jelas, alasan Sangkuriang gak ngenalin ibunya juga dijelaskan.

Walaupun aku juga tetep campur sama versi lain sih, gak mutlak dari film itu. Maklum lah ya, namanya juga legenda, banyak versinya.

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang