10. Saudara

1.3K 188 4
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

"Baru satu hari bekerja sudah membuat kesalahan!" sembur Nyi Asih. Aku hanya bisa menunduk.

Pelayan lain di ruangan ini beribisik membicarakanku. Aku tahu, aku telat membawa air panasnya. Karena itulah aku diam dan tidak membantah.

"Kau harus dihukum!"

"Tidak, Nyi. Dia masih baru, wajar jika dia berbuat kesalahan," ujar Dayang Sumbi. Dia wanita yang baik, bahkan terlalu baik.

"Tidak Putri. Justru jika dibiarkan, dia akan berbuat seenaknya. Kau, ikut aku!"

Nyi Asih menarikku keluar dari kamar Dayang Sumbi. Aku hanya diam mengikutinya saja. Dia membawaku ke sebuah ruangan dan menyuruhku naik ke atas meja.

Nyi Asih mengambil sebatang lidi, kemudian memukul pergelangan kakiku dengan itu berkali-kali. Dia tidak bicara, aku juga hanya diam sambil menggigit bibir bawah untuk meredam nyeri. Itu terus berulang sampai aku tak ingat berapa kali dia melakukannya.

_____________________________________________

Malam harinya, aku duduk di saung sambil melihat ikan berenang di kolam. Untung saja tidak ada banyak orang di sini. Hanya beberapa pengawal yang berlalu lalang untuk menjaga keamanan.

Aku mengubah posisi menjadi duduk bersandar ke dinding. Kulihat luka kemerahan di kakiku. Rasanya masih sakit. Tiba-tiba air mataku menetes.

"Hiks. Mama, aku kangen Mama! Aku kangen Baba, kangen sekolah, kangen main hp, kangen semua yang ada di sana. Aku ingin pulang huhuhu!"

Aku menangis dibalik lutut yang kupeluk. Rasa ingin pulang dan rindu rumah kembali hadir. Sudah hampir dua bulan aku di sini. Sampai sekarang aku belum tahu caranya untuk pulang.

Bagaimana kabar mama di sana? Apakah dia khawatir, takut, dan sedih karena aku tak kunjung pulang? Apa Batara mencariku kemana-mana? Apa mama melapor kepada polisi dengan kasus orang hilang?

Aku merasa seseorang mendekat. Segera ku angkat kepalaku. Seorang pria tinggi besar yang tidak asing berdiri di sebrang.

"Ini sudah malam, kenapa kau masih ada di sini?" tanya pria itu.

"Maaf Tuan Panglima, saya hanya sedang mencari udara segar."

"Harusnya para pelayan sudah kembali ke rumah pelayan. Kembali lah!" dia menyuruhku kembali.

"Baik, Tuan!"

Saat aku beranjak dari saung dan hendak pergi, pria itu menghentikanku.

"Ambil ini!" ucapnya sambil mengasongkan semangkuk kecil pasta. Aku menatapnya seolah bertanya, 'apa itu?'

"Ini salep. Pakai ini untuk mengobati kakimu...jangan salah paham. Salep itu sisa mengobati prajurit yang terluka saat latihan."

Dia menjeda sedikit ucapannya agar aku tidak salah paham menganggapnya peduli padaku? Lucu sekali.

Aku pun menerima salep itu. Kenapa tidak aku tolak? Ya karena aku membutuhkannya.

"Terima kasih, Tuan!"

_____________________________________________

Aku membuka pintu dan melihat Sangkuriang tengah bersiap untuk tidur. Ia menggelar samak¹ sebagai alas untuk kami tidur dan menggulung kain untuk bantalnya. Sangkuriang juga menyimpan sebuah balok kayu di tengah-tengah. Mungkin itu untuk pembatas. Karena samaknya hanya ada satu, jadi kita berdua harus tidur di sana.

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang