5. Tertangkap

1.6K 221 1
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

Setelah diberi izin tinggal di rumah Ki Badra, kami memutuskan membalas budi dengan cara bantu-bantu. Aku sering membantu Endah mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan Sangkuriang membantu Ki Badra mencari kayu bakar di hutan. Kami juga terkadang membantu warga desa yang membutuhkan.

Hari ini aku dan Endah pergi mencuci ke sungai, sedangkan Sangkuriang berenang di air dalam dengan arus yang lumayan deras. Heran, pria itu gemar sekali mencari tantangan. Melakukan hal-hal ekstrem yang bisa saja melukai diri. Aku benar-benar tak habis pikir.

"Lihatlah pria so' berani itu. Kenapa dia berenang di air yang dalam dan arus yang lumayan kencang?" gumamku, geram.

Endah yang mendengarnya tertawa pelan. "Maklum, Teh. Namanya juga anak laki-laki, memang suka menguji nyali."

Aku hanya mendengus kesal mendengar penuturan Endah. Memang ya dari dulu, apa pun yang dilakukan laki-laki pasti akan dimaklumi. 'maklum, namanya juga anak laki'.

Endah dan aku melanjutkan acara mencuci kami. Tanpa Endah sadari, selendang berwarna hijau miliknya hanyut terbawa arus.

"Ndah, selendangmu hanyut!" kataku memberi tahu.

Endah terkejut mendengarnya. Ia berjalan terburu-buru setengah berlari mengejar selendangnya. Aku terkekeh melihat cara jalannya yang lucu.

"Kemala!" panggil Sangkuriang. Aku melihat ke arahnya.

"Mau ikan? Nih, tangkap!" ujar Sangkuriang sambil melemparkan seekor ikan padaku. Aku refleks menangkap ikan itu, dan berhasil.

Sangkuriang tersenyum, kemudian berjalan ke tepian sungai. Seketika mataku melotot. Aku baru ingat kalau dia menanggalkan semua pakaiannya.

Ya ampun, besar dan lebat. Ekhem, pohon mangga di sebrang sungai. Buahnya lebat dan besar-besar.

"Kamu mau?"

"Huh?"

"Buah mangga!" kata Sangkuriang sambil menunjuk pohon mangga di sebrang sana.

"Ah tidak usah, itu terlalu jauh."

Untung saja Endah tidak ada di sini.

_____________________________________________

Selesai mencuci, aku, Sangkuriang, dan Endah berjalan pulang ke rumah. Aku dan Endah masing-masing menggendong bakul berisi pakaian, sedangkan Sangkuriang mengikuti dari belakang bersama empat ekor ikan hasil tangkapan di sungai.

Di tengah-tengah perjalanan, Sangkuriang menghentikan kami.

"Kalian pulang saja duluan! Saya lupa harus mengambil kayu bakar di hutan," ucapnya sambil menyerahkan keempat ikan di tangannya padaku.

Aku belum sempat mengatakan apapun, tapi Sangkuriang sudah berlari ke arah hutan. Akhirnya, aku dan Endah melanjutkan perjalanan pulang berdua saja.

Beberapa waktu berlalu, tapi Sangkuriang tak kunjung kembali. Dia bilang hanya akan mengambil kayu bakar di hutan, tapi kenapa lama sekali? Aku tahu, kayu-kayu itu pasti sudah dalam keadaan terpotong dan diikat menjadi satu. Jadi, Sangkuriang hanya tinggal membawanya pulang. Harusnya ia sudah kembali beberapa saat lalu.

"Kemana sih? Kok belum pulang juga?" gumamku sambil keluar dari rumah.

Pandanganku terus tertuju ke arah hutan, berharap melihat sosok Sangkuriang berjalan pulang. Tiba-tiba saja aku punya pirasat buruk. Hatiku tak tenang rasanya.

Aku turun dari teras dan memakai teropah, berniat untuk menyusul Sangkuriang ke hutan. Entahlah, tapi aku merasa sangat khawatir. Resah rasanya hati ini.

"Endah, abdi mios ka leuweung. Milari si Kakang!" ujarku sambil berlalu.

(Endah, saya pergi ke hutan. Nyari si kakak!)

Aku bisa mendengar langkah kaki Endah yang berjalan terburu-buru ke luar. Ia berbicara sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Biarkan saja lah, mungkin bukan hal yang penting.

Berjalan dan terus berjalan masuk ke dalam hutan. Sebenarnya aku tak suka jalanan di hutan. Penuh dengan semak belukar, tanaman liar, dan serangga. Membuat kulitku gatal saja.

Terdengar suara daun kering yang terinjak oleh kaki. Dari suaranya, sepertinya orang itu sedang berlari. Mataku mengikuti arah suara. Segerombolan orang berlari setelah suara orang sebelumnya pergi. Tunggu, Pakaian mereka...bukankah itu pengawal kerajaan? Jangan-jangan, Sangkuriang...

Aku berlari mengikuti mereka.

___________________________________________

~Author POV~

Sangkuriang terus berlari menghindari kejaran prajurit kerajaan. Ternyata benar, pihak kerajaan tidak melepaskannya begitu saja setelah membuat kekacauan.

Beberapa waktu lalu, Sangkuriang tengah mengumpulkan kayu yang sebelumnya sudah ia potong dan mengikatnya menjadi satu menggunakan akar pohon. Saat sedang fokus mengikat, tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara. Ternyata itu adalah prajurit kerajaan yang sedang mengejarnya.

Kembali ke saat ini, seorang prajurit melempar sebuah belati ke arah Sangkuriang. Untung saja pemuda itu dapat menghindar. Sangkuriang melompat ke samping kanan saat matanya tak sengaja melihat jebakan. Dalam hati ia merasa lega, tapi ternyata itu bukan jebakan yang sebenarnya.

Sangkuriang mendongak ke atas, empat orang misterius yang tertutup setengah wajahnya bertengger di atas pohon. Mereka melempar tali ke masing-masing tangan dan kaki Sangkuriang, hingga pemuda itu tak bisa bergerak. Melihat kesempatan itu, para prajurit di bawah melempar jaring ke tubuh pemuda itu. Hal itu membuat Sangkuriang semakin tidak berdaya

"Hahahaha, akhirnya tertangkap juga sia kehed!"

Prajurit-prajurit itu tertawa, senang atas keberhasilan mereka. Sangkuriang terus berontak, namun sia-sia.

"Kakang!"

Semua mata tertuju ke arah suara. Kemala berdiri tak jauh dari Sangkuriang dengan napas ngos-ngosan. Tangannya menahan selendang di dadanya yang naik turun mengikuti irama napas.

"Kemala, sedang apa kamu? Pergi dari sini!" ucap Sangkuriang.

"Wah, wah! Siapa ini? Seorang gadis manis? Apa kau kekasih kunyuk itu?" tanya prajurit yang memimpin pasukan.

Pria itu berjalan menghampiri Kemala. Kemala hendak kabur, namun tak sempat karena tangannya ditahan oleh pria itu.

"Mau kemana, cantik?"

"Lepaskan adikku sialan!" bentak Sangkuriang.

"Adikmu? Hmm, bawa gadis ini juga ke Keraton. Aku yakin Gusti Prabu akan menyukainya!"


Bersambung

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang