22.

1.2K 165 7
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

Aku berlari keluar dari asrama tanpa melihat ke belakang. Aaa, memalukan sekali. Kenapa aku melakukan itu tadi?

Setelah mencuri bibir Raganata, aku langsung kabur begitu saja. Kulihat dia diam saja seperti patung setelah kucium. Ya, mungkin dia kaget. Siapa juga yang tidak kaget kalau bibirmu dicium tiba-tiba seperti itu.

Aku berhenti berlari setelah memasuki istana wanita. Kucoba untuk mengatur napas ku yang ngos-ngosan. Ya ampun, berlari begini saja sudah membuatku keringatan.

Setelah pernapasanku membaik, aku kembali berjalan menuju kamar Dayang Sumbi. Kamarnya berada di bagian istana paling ujung. Cukup jauh dan terpencil. Jadi, aku harus berusaha lagi.

''Huh, melelahkan!" keluhku di depan kamar Dayang Sumbi.

Ketika hendak membuka pintu, aku mendengar ada barang jatuh yang sepertinya sengaja dibanting.

Sayup-sayup terdengar suara pertengkaran di dalam kamar. Aku menempelkan telinga ke pintu agar bisa mendengar suara itu lebih jelas.

''SUDAH KUBILANG KAU BUKAN IBUKU!"

''Tapi kau memiliki tanda itu. Aku tidak bisa menikahi mu, Sangkuriang. Kau putraku!"

"Kalau memang aku putramu, coba katakan, siapa ayahku?"

Hening. Dayang Sumbi tidak menjawab pertanyaan itu.

Aku ingat kalau Dayang Sumbi telah bersumpah kepada suaminya untuk tidak mengatakan siapa ayah kandung Sangkuriang. Ya, memang mau bilang apa? Bilang kalau 'ayahmu adalah anjing' begitu? Sangkuriang tidak akan percaya.

''Jawab Nyai!"

Kriet...

Aku membuka pintu membuat fokus kedua orang itu teralihkan padaku. Sangkuriang mengerenyitkan dahi dan menyugar rambutnya ke belakang.

Kulihat Dayang Sumbi menghela napas lega. Karena kedatanganku, ia jadi tidak perlu menjawab pertanyaan Sangkuriang untuk saat ini.

''Kamu datang pagi-pagi sekali, Kemala!" ujar Dayang Sumbi.

''Iya, Nyai Putri. Saya tidak punya hal yang perlu dikerjakan, jadi saya ke sini lebih awal.''

Aku melirik Sangkuriang yang berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia bahkan tidak menyapaku. Nampaknya ia sangat marah.

Dayang Sumbi terduduk di ranjang. Ia memijat pelipisnya untuk mengusir rasa pening yang hinggap di kepalanya.

Aku memilih untuk tidak mengganggunya dan melakukan pekerjaanku saja. Mulai dari membersihkan kamar. Beberapa saat kemudian, pelayan lain datang dan pagi ini dihabiskan dengan berkerja seperti biasanya.

Sampai waktu siang tiba, Dayang Sumbi memintaku untuk bicara empat mata.

Di sinilah aku sekarang. Berdiri tegap di samping Dayang Sumbi yang tengah menenun. Dia memang memintaku bicara empat mata, tapi selama 30 menit ini, dia diam saja. Kakiku sampai pegal karena terlalu lama berdiri.

''Kamu benar, Kemala!"

Aku mengangkat kepala dan menatap Dayang Sumbi yang tetap fokus pada tenunannya.

''Sangkuriang memang punya bekas luka itu.''

Ya, kan? Aku mengatakan yang sesungguhnya. Aku hapal betul kisah kalian berdua. Lagipula aku juga sudah mendengarnya tadi pagi

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang