Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.
*
*
*Semua orang menunduk sebagai penghormatan terakhir saat peti berisi jenazah Panglima diletakan. Tak ada yang menyangka kalau Panglima sehebat Raganata bisa meninggal secepat ini.
Ada yang bilang, kalau beliau dibunuh saat tengah tertidur. Tentu saja hal itu adalah tindakan paling pengecut yang melanggar sumpah satria.Aku tidak kuasa menahan tangis saat melihat wajah pucat Raganata. Darah yang sudah mengering masih menghiasi sekujur tubuh bagian atasnya. Luka yang menganga di dadanya membuat hatiku teriris. Tidak terbayang sebesar apa rasa sakit yang Raganata rasakan kala itu.
Kupalingkan wajah ke arah lain. Tak ingin melihat kondisi Raganata yang begitu mengenaskan. Namun, aku malah melihat Astraloka yang tengah berdiri di ujung sana. Kepalanya tertunduk, tapi...ada yang aneh. Aku yakin, sudut bibirnya terangkat. Dia tidak mungkin merasa bahagia atas kematian saudaranya kan?
Tidak lama sejak datang, jenazah Raganata segera dimakamkan. Dalam suasana berkabung ini, Prabu Sungging Purbangkara meliburkan semua pekerja selama seminggu berturut-turut. Bukan hanya pekerja istana yang libur, tapi kuli, petani, pedagang, dan pasar-pasar di desa juga ikut tutup.
Malam ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Besok sudah waktunya kembali bekerja. Selama libur, aku hanya berdiam diri di rumah seminggu penuh. Terkadang, Sangkuriang datang untuk mengecek keadaanku. Seperti kemarin malam, dia datang sambil membawa buah mangga.
''Kamu suka mangga kan? Makanlah. Kudengar, kamu jadi jarang makan sejak hari kematian Panglima.''
Aku menggeleng pelan sebagai penolakan. Memang benar, aku jarang makan sejak itu. Entah kenapa nafsu makan ku hilang.
Kematian Raganata memukul jiwaku. Aku jadi tidak bersemangat dalam segala hal. Setiap hari hanya merenung dan melamun.
''Kemala,'' Sangkuriang menggenggam tanganku. ''Aku tahu kamu dekat dengannya. Tapi, jangan terus berlarut dalam kesedihan. Cerialah!" lanjutnya sambil tersenyum.
Senyuman manis yang belakangan ini tak pernah kulihat.
Aku balas tersenyum dan mengangguk pelan. Sangkuriang mengambil pisau dan mengupas mangganya untukku. Ia lalu memotongnya seukuran satu suapan dan menyodorkannya ke mulutku. Tentu dengan senang hati aku terima.
Sebuah senyuman simpul muncul di wajahku kala mengingat hari itu. Namun tak lama, senyum itu kembali lenyap.
Aku pikir, hubungan kami mulai membaik. Tapi, saat aku kembali membahas tentang hubungannya dengan Dayang Sumbi, sifatnya berubah lagi. Dan sampai sekarang, kami belum bicara.
''Apa kau bersedih atas kematian saudaraku, Kemala cantik?"
Aku mendengus kesal saat mendengar suara itu. Nada bicara yang penuh rayuan, Astraloka. Aku malas meladeninya, jadi aku abaikan saja dia. Melirik pun tidak
Namun sepertinya, kodeku itu tidak sampai padanya. Bukannya menjauh, dia malah mendekatiku.
''Jangan sia-siakan air mata berhargamu hanya untuk orang seperti dia!" ucapnya, hendak menyentuh pipiku, namun aku menepisnya pelan.
''Anda sendiri, apa tidak sedih kakak anda meninggal?"
Ditanya seperti itu, dia malah tertawa. Aku mengerenyitkan dahi karena tidak mengerti dengan jalan pikiran pria itu. Aneh sekali.
''Kenapa aku harus sedih? Aku malah senang karena penghalang ku sudah tiada.''
Senang katanya? Saudaranya baru saja meninggal dunia dan dia merasa senang akan hal itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemala di tanah Parahyangan
FantasiKemala hanyalah seorang siswi SMA biasa. Suatu ketika, ia tertabrak oleh mobil dan terlempar ke dunia antah berantah. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Sangkuriang. Ini adalah kisah Kemala di tanah Parahyangan. Tempat dimana legenda...