19.

1.2K 184 4
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

''... Saat usiaku 22 tahun, ayah pensiun dan menunjukku sebagai panglima selanjutnya. Kau mungkin bertanya, kenapa ayahku punya hak itu. Sebelumnya, Gusti Prabu kembali menunjuk keturunan Aryandra sebagai panglima kerajaan. Ia tidak peduli anak yang mana, mau anak sah atau bukan, Gusti Prabu serahkan semuanya kepada Ayahku. Namun,  nyonya Dhara tidak terima. Ia ingin Astraloka yang menjadi panglima. Akhirnya ayah mengusulkan agar kami duel untuk menentukan siapa yang lebih layak. Nyonya Dhara setuju, namun dengan satu syarat,'' Raganata terus bercerita dan aku mendengarkan.

''Apa syaratnya?" tanyaku penasaran.

''Astraloka menggunakan pedang sungguhan, sedangkan aku hanya boleh menggunakan ranting kayu.''

''Apa? Bukannya itu tidak adil?''

Raganata hanya tersenyum. Ia meregangkan badan dan membaringkan tubuhnya di atas tumpukan jerami kering.

Aku menatapnya dengan heran. Tak mengerti kenapa dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Jedanya mungkin 2 sampai 3 menit.

''Ya, sebenarnya itu tidak adil. Tapi, nyonya Dhara menganggap itu adil. Dia bilang, Astraloka masih muda, tubuhnya juga lebih kecil dariku. Walaupun begitu, apapun alasanya tetap aku yang jadi pemenangnya. Tak lama, ibuku meninggal dan ayah menyusulnya satu bulan kemudian. Apa yang dikatakan nyonya Dhara benar. Ayah mencintainya. Sebelum ayah meninggal, dia bercerita kalau pertemuan mereka tidak semata-mata karena perjanjian. Ayah sudah menyukai ibu sejak wanita itu datang sebagai dayang istrinya.''

Setelah menceritakan masa lalunya, Raganata tak lagi bicara. Aku pun ikut terdiam. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara jangkrik di sudut ruangan.

Hari sudah petang dan matahari akan segera terbenam. Karena tidak ada percakapan diantara kami, aku jadi mengantuk.  Akhirnya aku ketiduran.

''Kemala! Kemala!"

Aku terbangun karena panggilan Raganata. Ku ubah posisi menjadi duduk.  Tangan kananku bergerak menutup mulut yang menguap lebar. Aku mengerjapkan mata.  Ternyata sudah gelap, mungkin sekitar tengah malam.

''Ada apa?" tanyaku sambil mengucek mata.

''Jangan tidur di sini! Kita pergi ke istana wanita, kau akan aman bersama Nyai Putri!"

Aku menguap lagi. Sebenarnya aku tidak mengerti dengan ucapan Raganata, tapi aku mengangguk saja. Raganata menarik tanganku membuat tubuhku terasa seperti melayang. Entah karena dia yang terlalu kuat atau tubuhku yang ringan.

Pria itu membawaku berjalan menembus gelapnya malam. Aku tidak tahu mau dibawa ke mana. Kakiku hanya berjalan mengikuti langkahnya.

Kami melewati koridor panjang dan tiba di depan pintu kamar seseorang. Raganata melepaskan tanganku dan pergi untuk mengetuk pintu. Ia mengetuk berkali-kali dengan gerakan pelan. Dia seharusnya mengeraskan suara agar si pemilik kamar bisa mendengarnya.

Tapi, sepertinya tidak perlu. Si empunya sudah keluar sekarang.

''Panglima Raganata? Kau di sini?" tanya Dayang Sumbi nampak sedikit terkejut.

Raganata menunduk memberi salam sebelum bicara, ''Maaf mengganggu waktu berharga anda, Nyai Putri. Saya datang ke sini untuk mengantar seseorang!"

''Siapa?"

Aku berjalan mendekati mereka berdua. Dayang Sumbi nampak terkejut, namun ia menghampiriku dan langsung memelukku.

''Kemala, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya setelah melepaskan pelukan kami.

Dia mungkin khawatir setelah melihat penampilanku yang berantakan. Aku mengangguk untuk membalas pertanyaannya.

Dayang Sumbi tersenyum sembari mengelus rambutku. Matanya lalu melihat ke arah sekitar seperti mencari sesuatu. Setelah memastikan semuanya aman, ia menarik tanganku dan mengajak Raganata untuk masuk ke dalam kamarnya.

Ketika di dalam kamar, aku terkejut melihat seseorang yang sudah berada di tempat ini sebelum kami. Sangkuriang, sedang apa dia di sini?

''Kemala!" Sangkuriang berjalan mendekatiku dan memegang kedua lenganku.

''Apa kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka? Oh Sang Hyang Rumuhun, aku benar-benar  mengkhawatirkanmu. Aku sangat terkejut saat mendengar kabar itu,'' lanjut Sangkuriang.

''Kakang, sedang apa Kakang di sini?"

Sangkuriang tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia malah nampak kebingungan memikirkan jawaban.

''Itu, tadi aku diperintahkan untuk mencari kalian, lalu aku bertemu Nyai Putri. Beliau memintaku untuk berbicara sebentar!"

Jelas-jelas yang dikatakannya itu bohong. Dia mungkin datang ke sini atas inisiatif sendiri. Walau mungkin mereka benar-benar sedang membicarakan tentangku.

Aku lupa dengan kedua orang ini. Andai saat itu aku tidak ditunjuk untuk menjadi pelayan Raja, mungkin aku bisa menghentikan kisah cinta terlarang mereka. Tapi, walaupun tanpa aku, bukankah harusnya Dayang Sumbi sudah melihat pitak di kepala Sangkuriang?

Dayang Sumbi bergabung bersama kami setelah mengunci pintu.

''Nyai Putri, saya membawa Kemala ke sini karena menganggap bahwa dia akan aman di sini. Saya harap, anda bisa membujuk Gusti Prabu agar kembali menjadikan Kemala sebagai pelayan anda. Anda adalah putri yang sangat disayangi Gusti Prabu. Jika itu anda, Gusti Prabu pasti  memenuhinya,'' ujar Raganata.

''Sebenarnya tadi kami juga hendak mencari kalian. Aku bermaksud untuk menahan kalian di sini selama aku membujuk ayahanda!"

''Ah, untunglah. Saya bisa mempercayakan Kemala di sini. Kalau begitu, saya pamit undur diri," pamit Raganata.

''Kau mau kemana, Panglima? Tetap di sini! Jika kau pergi, kau pasti akan mendapat masalah!" kata Sangkuriang, menahan kepergian Raganata.

''Tidak, saya harus pergi. Seorang ksatria tidak akan lari dari tanggung jawabnya!'' Raganata mengatakan itu dengan penuh keyakinan.

Aku memandang Raganata dengan tatapan sendu. Dia begitu baik padaku sampai mengkhawatirkanku sejauh itu. Dia bahkan rela menanggung hukuman seorang diri. Hanya demi aku.

Aku tidak boleh membiarkannya dihukum setelah apa yang dia lakukan untukku. Aku harus melakukan sesuatu.

''A-''

''Sebelum melakukan sesuatu, sebaiknya kau urungkan niatmu, Kemala!" Raganata menyela bahkan sebelum aku mengucapkan sesuatu. Dia bicara seolah tahu niatku saja.

Raganata tersenyum dan menyentuh pipi kananku.

''Tidak perlu merasa bersalah atau bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi padaku! Tetaplah di sini dan jaga dirimu, oke?"

Aku lagi-lagi hanya mengangguk patuh. Rasanya aku sama sekali tidak berguna. Aku hanya bisa menyusahkan orang lain. Sejak awal aku sudah merepotkan Sangkuriang, sekarang Dayang Sumbi dan Raganata juga.

Eh, tunggu sebentar. Apa tadi Raganata bilang 'oke'? Bukannya kata itu belum ada di zaman ini? Jangankan bahasa Inggris, negeri ini bahkan tidak menggunakan bahasa Indonesia. Hanya bahasa Sunda lah yang digunakan.

Aku hendak bertanya pada Raganata, tapi pria itu sudah pergi dan menghilang ke sisi lain pintu. Itu tadi, aku tidak salah dengar kan?





Bersambung...

Kemala di tanah Parahyangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang