Chapter 14 - Akhir bagi kami pt1

245 39 3
                                    

Bergelut sama kenyataan itu beneran berat, tapi akhirnya, akhirnya bisa nulis lagi. Seneng banget.

Makasih buat yang masih stay, and welcome untuk para reader baru. Enjoy!

*****

Manhattan. 2020.

(1.24 am)

"Att.. please.."

"No.. don't leave me"

"ATT!"

Lagi-lagi mimpi yang sama. Mimpi yang terulang selama sepuluh tahun kebelakang. Peluh bercucuran membasahi wajah Off, nafasnya memburu. Off membawa langkahnya menuju dapur, menuangkan segelas air dingin guna mewaraskan pikirannya.

"Att.." air matanya jatuh, sesak sekali, hatinya sakit.

Perasaannya akan seperti ini saat mimpi mengerikan itu datang kembali. Apa yang dikatakan orang-orang itu sepenuhnya bohong, ternyata waktu tak bisa menyembuhkan luka. Berpisah dari sang kekasih setelah sepuluh tahun lamanya sama sekali tak mengurangi sakit dihatinya, rasanya tetap sama. Justru, semakin lama semakin terasa sakit, rindu. Ratusan lukisan sang kasih yang terpanjang disetiap penjuru rumah sama sekali tak mengurangi rasa rindu yang membuncah.

"Aku gak kuat lagi Att.. please take me.."

Off memejamkan matanya, lagi-lagi ingatan yang lalu terputar jelas layaknya layar bioskop.

Malam itu..

*****

Bangkok. 2010.

Tangannya melambai pada sang kekasih yang baru saja mengantarnya pulang. Ahh rasanya tak ingin berpisah, satu malam bersama tak cukup baginya. Att tersenyum lagi saat ingatan itu kembali muncul, okay, itu kali pertamanya jadi tak aneh kan jika dia merasa sangat bahagia?

"Aku pulang-" senyum Att terhenti saat melihat sang Ayah yang berdiri menatapnya sendu, juga kecewa. Ibunya berdiri dibelakang sambil menundukkan kepala, tak menatapnya sama sekali.

"Ada apa Ayah?" Tanya Att segera.

"Ikut ke ruang kerja sekarang." Putus sang kepala keluarga sambil memimpin jalan.

"Ibu sebenarnya ada apa?" Tanya Att, namun sang Ibu hanya terdiam, Att dapat melihat mata sembab ibunya, habis menangis.

Att duduk dengan gelisah, menunggu hal penting apa yang akan ayahnya sampaikan sehingga semua terasa semenegangkan ini.

"Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dari Ayah?"

Att bingung, lantas menggeleng.

"Apa aku melakukan kesalahan ayah?"

Tuan Phunsawat berjalan mendekati putra semata wayangnya, "Apa kami kurang memberikan kasih sayang padamu selama ini?" Tanyanya sedih.

"Tidak ayah, tidak sama sekali. Kenapa ayah bicara seperti itu?"

Helaan berat jelas terdengar, "Kembalilah ke Jerman, lanjutkan pendidikanmu di sana dan jangan pernah kembali ke sini."

Att terbelalak, "Apa? Kenapa? Apa alasannya?"

"Jangan bertanya, dan mulailah mengemasi barang-barangmu."

"Tidak! Aku tak akan pernah pergi. Ayah apa ayah tega membiarkan aku hidup sendirian di sana? Tanpa kalian? Lagipula nenek dan kakek sudah tak ada, untuk apa aku kembali ke Jerman? Itu sungguh tak masuk akal. Kenapa ayah melakukan ini?" Att terisak.

"Ibu, ibu tolong katakan pada ayah, aku tak ingin pergi. Aku ingin disini bersama ibu, bersama kalian." Att memohon, menangis, "Katakan sesuatu ibu, kenapa dari tadi diam saja? Sebenarnya ada apa? Jelaskan sesuatu padaku."

Tiba-tiba sebuah amplop besar berwarna cokelat terletak dihadapannya, "Buka dan lihatlah, kau akan mengerti mengapa kami melakukan ini."

Tangan Att gemetar, wajahnya pucat, suaranya tangisnya sudah terhenti tapi air mata terus mengalir tanpa henti.

"Harusnya aku paham kenapa dia tiba-tiba berteman baik denganmu, terlebih lagi kita adalah orang asing yang baru sampai di sini."

"Maafkan aku."

"Lupakan, dan pergilah. Jangan pernah sekalipun menginjakkan kakimu lagi di negara ini."

"Maafkan aku."

*****

Off memasuki rumah dengan perasaan amat bahagia. Ingin cepat-cepat masuk kamar untuk mengabari sang kekasih jika ia sudah sampai.

"Kau benar-benar memalukan!"

Off mengernyit, apa lagi sekarang?

"Apa lagi sekarang?" Tanya Off tak acuh pada Papanya yang duduk di ruang tengah, wajahnya terlihat sangat marah.

Sebuah amplop cokelat besar dilempar, mata Off membola saat ia membuka apa isinya.

"Lalu?"

Lelaki tua itu mendengus, "Lalu?" Tanyanya seakan tak percaya.

Plak!

"Lalu kau bilang?"

Plak!

"Gunakan otakmu, masih berani bertanya seperti itu?"

Plak!

Mata Off tertuju ke sudut ruangan, Mamanya yang menangis terisak sambil terus menunduk dalam-dalam.

"Apa yang salah? Aku mencintainya."

"Anak ini benar-benar!" Teriak sang Ayah tak percaya.

Off tak tahu bagaimana sang ayah bisa mendapatkan foto-foto ini, fotonya bersama Att, bahkan satu diantaranya adalah foto saat mereka bercumbu didalam mobil beberapa waktu lalu. Awalnya Off terkejut, kemudian dia berpikir untuk tidak lagi menyembunyikan hubungannya dengan Att, ia akan memperjuangkannya.

"Kami berpacaran, dan Papa tak bisa melakukan apapun tentang itu. Aku mencintainya, aku tak akan pernah melepaskannya apapun yang akan Papa lakukan. Aku tak peduli."

"Oh begitu? Mau jadi sok jagoan kamu? Kau hidup dengan uangku, hidup dengan aturanku! Dan ingat, kau itu sudah bertunangan! Kau ingin mempermalukan seluruh keluarga Adulkittiporn demi laki-laki menjijikkan itu?"

"Berapa kali aku harus bilang aku sama sekali tak peduli dengan nama keluargamu Pa, aku terlahir dengannya bukan berarti aku menginginkannya. Aku menerima pertunangan itu juga karena paksaan, Papa yang menerima dan mengatur semua itu, bukan aku. Aku muak! Aku muak menjalani kehidupanku demi mewujudkan semua keinginanmu. Dengar, aku tak peduli, aku akan pergi dari keluarga ini jika itu mau Papa, yang pasti aku tak akan pernah melepaskan Att. Tak akan pernah!"

Off berbalik, ia sungguh saat ia mengatakan untuk memutus nama Adulkittiporn dari hidupnya.

"Lihat saja, liat apakah lelaki itu akan memilihmu atau keluarganya. Aku sudah memberitahu semuanya pada keluarga Phunsawat."

Tangan Off mengepal, segera ia pergi untuk menemui kekasihnya itu. Ia tak bisa kehilangan Att apapun yang terjadi.

To be continued..




HIRAETHWhere stories live. Discover now