6.

66 17 2
                                    

Janu menoleh dan memandang dari kejauhan, kira-kira apa yang akan ia lakukan sekarang. Apakah sanggup untuk menyapa lagi. Tapi terlalu takut. Atau ia menghampiri untuk meminta maaf karena telah bersikap acuh. Namun bingung. Janu kesal akan dirinya yang seperti ini, ujung-ujungnya ia pasti akan kembali pasrah.

Ditengah-tengah kebimbangannya, Janu tidak sadar jika pandangan sendunya terbalaskan. Vian memandang Janu dengan kerutan, ia bingung mengapa Janu memandangnya seperti itu. Sempat ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan jika pandangan Janu memang kearahnya, kepadanya. Ia yakin akan hal itu setelah memastikan meja-meja di dekatnya kosong. Lama Janu seperti itu, Vian menebak jika Janu sedang melamun. Membuat senyuman tipis muncul pada bibir tipisnya. Seseorang sedang melamun selagi memandangnya.

Vian menunggu beberapa saat. Memastikan untuk terakhir kalinya. Benar saja, Janu tetap pada posisinya. Ia mengumpulkan kepercayaan dirinya, lalu mengangkat gelas kopi dan kembali menghampiri Janu.

Janu berkedip memandang Vian yang datang lagi kearahnya. Dengan santainya laki-laki itu menarik kursi lalu duduk di sebelahnya.

"Berarti gue nggak ganggu lo ya?"

Janu terdiam.

"Kayaknya ada yang mau lo omongin."

Hening.

"Gue kira lo lagi sibuk. Gue perhatiin dari jauh tadi, lo lagi kerjain sesuatu?"

Janu tak percaya jika dirinya diperhatikan sejak tadi, seperti halnya ia yang diam-diam memperhatikan Vian.

Tetap tidak ada tanggapan, Vian diam memperhatikan. Memandang Janu yang terdiam, menunggu beberapa detik tapi tak kunjung direspon. Kedua alisnya terangkat, Janu yang memandang balik juga mengangkat kedua alisnya.

"Maaf?" Ucap Janu.

"Maaf?" Alis Vian mengkerut.

"Tadi gue nggak langsung respon, dan malah terkesan cuek."

"Cuma hal simple gitu, lo nggak perlu minta maaf."

"Kesannya kurang baik aja."

"Gue juga tadi mikirnya kalau ganggu lo."

Janu menggeleng.

"Jadi gue nggak ganggu?"

"Nggak."

Janu memperhatikan senyum yang muncul setelah ia menjawab.

"Lo kok bisa ada di sini?"

Topik pembicaraan mereka dimulai.

"Rumah kakek-nenek ada di deket sini."

"Serius?"

"Mereka punya rumah di sini."

Vian mengangguk paham, "Lo lagi nulis?" ia kemudian melirik ke atas meja. Ada beberapa buku yang menarik atensinya, dan Janu memperhatikan arah pandangnya. Langsung tersadar, Janu menoleh kebukunya yang masih terbuka. Ia gelagapan menutupnya sebelum Vian sempat melirik isi di dalamnya.

"I-iya, tadi lagi iseng-iseng nulis."

Vian mengangguk paham. "Bahkan lagi libur gini lo tetap nulis ya."

Janu mengernyit, Vian tahu dirinya menulis? "Cuma nulis-nulis nggak jelas."

Vian kembali mengangguk-angguk kecil. "Lo disini liburan?"

"Iya, lo?"

"Iya juga."

Hening.

Janu ingin bertanya, tetapi tidak tahu apa yang harus ditanyakan.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang