1.

234 24 8
                                    

Perkiraan cuaca nyatanya salah lagi hari ini, Janu menggeleng melihat awan mendung dari jendela kamar. Perubahan cuaca yang mendadak seperti ini semakin membuatnya khawatir, bumi sudah semakin tua dan rusak. Detik waktu sedang menghitung, hanya menunggu waktunya tiba.

Janu menghela nafas, awan mendung di hari senin. Inginnya bermalas-malasan, namun tanggung jawab di balik meja kantornya menunggu.

Piring bekas sarapan sudah tercuci bersih, semua tirai tertutup rapat menghalang cahaya mentari, putaran kunci pintu dipastikan dua kali. Janu bersiap berangkat bekerja.

Dua puluh delapan tahun, Janu menikmati kehidupannya sampai detik ini. Tidak ada yang tidak tertata, semua dipastikan teratur sesuai dengan kemauannya. Tidak sulit untuk menjalani hidup sebagai seorang Janu. Ia sederhana, tidak terlalu memusingkan banyak hal, sabar dalam menanggapi masalah, dan tidak menumpuk banyak keinginan.

Banyak orang yang meminta saran padanya mengenai bagaimana cara Janu menjalani hidupnya. Karir terus menanjak, dan kualitas diri semakin meningkat. Seolah-olah jalan yang ia lalui lurus dan beraspal mulus, hanya sesekali tersendat oleh pilihan tikungan atau zebra cross yang melambatkan lajunya.

Tetapi seperti yang sudah-sudah, mereka hanya mendengarkan tanpa mau melakukan apa yang Janu sarankan. Oleh karena itu, sekarang Janu hanya akan menjawab dengan kalimat sederhana.

"Setiap orang punya cara mereka masing-masing dalam menjalani hidup." Ucap Baim tengah menahan kesal. "Gue juga maunya begitu, bisa kerjain ini dengan cara gue sendiri! Tapi masalahnya ini ada prosedurnya tersendiri, dan nggak boleh sembarang dikerjain."

"Terus masalahnya?"

Baim menghela nafas, ingin sekali rasanya melempar tumpukan kertas yang dibawanya kehadapan sang manajer.

"Gue mau minta tolong buat diajarin prosedurnya." Baim memaksakan senyuman. "Sekali lagi," mengacungkan telunjuknya memohon.

"Janji sekali lagi?"

"Iya, janji!"

"Ya sudah, duduk."

Janu bukan tipe atasan yang keras, ia hanya mencoba untuk tegas dan disiplin agar timnya tidak menjadi orang-orang yang manja. Baim paham akan hal itu, karena diluar masalah pekerjaan Janu adalah teman dekat sekaligus kakak yang sangat baik. Terkadang Baim benar-benar berharap jika mereka memanglah saudara kandung, namun itu tidak mungkin karena ia sendiri adalah anak tunggal.

Rekan-rekan kerjanya sering mengatakan jika Baim adalah bayangan Janu di kantor, selalu membayanginya sejak awal bekerja. Mulai dari mejadi anak didik Janu saat masih magang, menjadi Supervisor ketika Janu diangkat menjadi Branch Manager, hingga sekarang menempati posisi Branch Manager menggantikan Janu yang memegang jabatan sebagai General Manager.

Baim tidak ambil pusing ketika orang-orang mengecapnya sebagai penjilat karena menjadi anak kesayangan Janu. Sejak pertama, Janu sudah Baim anggap sebagai panutannya, sebuah inspirasi hidup.

"Pulang kerja nanti kemana?"

Baim melirik jam di desktop komputernya. Pukul lima sore, pantas saja Janu menghampirinya, sudah waktunya pulang kerja. Sepertinya mereka akan makan malam bersama lagi, sudah menjadi rutinitas sejak lama.

"Paling langsung pulang, kenapa?"

"Ayo cari makan."

Sesuai dugaan Baim.

"Tempat biasa?"

Janu mengangguk dan Baim memberikan isyarat ok, tanda setuju. Tiga puluh menit kemudian mereka duduk menikmati makan malam berupa sushi, ramen dan berbagai macam hidangan jepang lainnya. Makanan favorit Janu, yang biasa ia nikmati ketika sedang hilang selera makan.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang