3.

102 16 1
                                    

Janu memperhatikan ruangannya, begitu tenang dan nyaman. Sungguh berbeda dengan isi kepalanya yang sedang penuh oleh kebisingan, hingga pening karena pekerjaan yang tidak ada ujungnya. Ruangan dalam kepalanya berkecamuk antara logika dan akal sehat. Ada relasi yang hendak ia coba selamatkan, namun di satu sisi ada masalah juga yang ingin ia hindari. Semua itu hanya butuh satu keputusan darinya.

Semakin mudah jika dirinya mendapatkan jawaban dari orang lain. Janu keluar ruangan, ia langsung disambut dinamika bawahannya yang sibuk bekerja dengan tekun. Itu dapat mennghibur kerisauan hatinya, ternyata masih banyak diluar sana orang-orang yang bekerja dengan tulus. Termasuk orang yang paling ia percaya. Janu menghampiri mejanya.

"Ada apa?" Baim mendongak dengan kerutan.

Janu merespon dengan ajakan untuk mereka berbicara empat mata.

"Kenapa? Masalah pekerjaan?"

Janu mengangguk "Barang-barang yang hilang itu sudah ketemu, termasuk dana yang nggak pernah masuk."

Baim membola. Tidak tahu reaksi apa yang harus diberikannya.

"Kalau tim audit dari pusat temuin data yang sama, kemungkinan kita semua bisa kena masalah."

"Berarti pelakunya sesuai dengan dugaan kita?"

Janu membenarkan.

Dengan keras Baim memukul tiang pembatas balkon, sepoi angin disiang hari berusaha menyejukan emosi mereka yang perlahan naik.

"Gue nggak nyangka dia bakalan ngelakuin hal sejahat itu."

Janu juga tak habis pikir, ia sangat-sangat kecewa.

"Berapa total kerugian?"

"Sejauh yang gue selidiki, kemungkinan dua sampai tiga miliar."

"Gila! Dan nggak pernah ada yang sadar total sebesar itu hilang selama tiga bulan."

"Mau bagaimanapun dia jauh lebih paham tentang sistem inti dari kantor, jadi dengan mudah uang-uang itu tidak pernah terdeteksi."

Baim mendengus, kekesalannya sudah sampai di ubun-ubun kepala. "Bodoh, dan kita masih percaya sama bajingan itu."

"Clueless... Kita tidak bisa tahu sifat manusia yang sebenarnya."

"Tapi gue masih nggak habis pikir kenapa Pak Arifin sampai harus melakukan hal sebodoh itu."

"Yang kita bahas ini adalah masalah korupsi. Yang tentu saja melibatkan harta dan materi, termasuk juga dengan uang-uang itu. Itu adalah hal-hal yang sangat sensitif untuk masusia dan sifat-sifat egous dan rakus yang dimilikinya."

"Manusia dan sifat rakusnya..." ulang Baim.

Janu mulai merasakan kekhawatiran, cepat atau lambat semua akan terungkap tak peduli sekuat apapun untuk mencoba menutupi. Janu mungkin cukup pintar hingga dapat menjadi yang pertama mengetahuinya. Namun ia juga sadar, ia baru saja menemukan kunci untuk membuka pintu rahasia.

"Cepat atau lambat..." kata Janu. "Kita harus siap terima konsekuensinya."

"Maksud lo kak?"

"Bisa jadi kita ikut terseret."

"Tapikan kita nggak ikut andil buat ambil bagian!" Baim tidak terima.

"Tapi kita gegabah karena nggak sadar sama masalah ini selama tiga bulan."

Baim gugup. Ia takut, belum siap jika masalah ini akan mempengaruhi pekerjaannya. Jangan sampai mengancam posisinya sebagai seorang karyawan, tidak siap untuk memulai dari tempat yang baru dan harus mengulang lagi dari awal.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang