17.

51 15 11
                                    

Ketika terjadi perubahan besar, itu artinya kesibukan semakin bertambah. Seharian mereka kewalahan untuk mengolah data dan dokumen. Menghubungi berbagai relasi baru, menggali dokumen lama untuk mencari petunjuk, dan membuat data-data baru sebagai bentuk penawaran.

Bagi yang lain, hari ini mungkin merupakan salah satu hari terberat dan memusingkan lainnya. Tidak menyangka jika mereka harus membiasakan diri untuk memulai bekerja dengan perubahan total pada pekerjaan mereka. Tak sedikit dari beberapa karyawan yang menyayangkan keputusan hasil rapat. Ada yang mengeluh, kesal dan ada juga yang hanya pasrah saja. Mau bagaimanapun itu sudah menjadi keputusan dari atasan.

Dalam ruangannya Janu juga disibukkan dengan hal yang sama. Bedanya ia tidak mengeluh, kesal, atau pasrah. Ia hanya putuskan untuk bekerja, mengerjakan semuanya agar cepat terselesaikan. Jika seseorang melihatnya, mereka mungkin akan mengira jika Janu adalah robot. Tanpa ekspresi, matanya menatap layar komputer dan tangannya sibuk mengetik. Di sisi pinggir meja ada sisa roti isi yang baru dimakan setengah. Baim membawakannya siang tadi, ketika Janu menolak ajakan makan siang bersama. Ia sedang tidak ingin meninggalkan meja kerjanya.

Di ruangan sebelahnya. Ruangan milik Arya, tak kalah sibuk. Sedari tadi beberapa karyawan silih berganti memasuki ruangannya untuk sekedar meminta pendapat atau persetujuan tanda tangan. Pekerjaan yang tak ada habisnya hingga malam tiba, mereka kerjakan demi perubahan yang lebih baik.

Arya merapikan barang-barang pribadinya, mematikan komputer lalu menutup ruang kerja. Ia memperhatikan skat-skat meja sudah kosong semua, gelap tanpa ada pencahayaan. Hanya ada satu ruangan yang masih menyala, ruangan yang menjadi tujuan langkah kakinya.

"Mau pulang sekarang?" Tanya Arya di ambang pintu, tepat saat Janu baru saja mematikan komputer.

Janu hanya menjawab dengan anggukan. Arya merasa miris.

"Mau pulang bareng?"

"Gak ada supir lagi?"

Arya mengangguk.

"Ya udah, ayo saya antar pulang."

Melupakan perdebatan mereka tadi pagi, Janu dan Arya berjalan bersisian menuju tempat parkir. Kali ini lagi-lagi Arya meminta Janu untuk mengantarnya pulang, dan Janu pun tidak banyak bertanya langsung mengiyakan tanpa keberatan.

"Mau makan malam dulu?"

"Makan malam bareng?"

Kedua alisnya terangkat, Arya rasa pertanyaannya cukup jelas.

Janu memutar kemudi, mobil berbelok ke arah yang sama. "Mau makan dimana?"

Arya tak menyangka Janu akan menyambut baik tawarannya, karena pemuda itu sudah terlihat cukup lelah.

"Tapi kamu belum cape?"

"Lumayan, saya juga lapar."

"Ada saran tempat makan enak disini?"

Hening, Janu berpikir selagi mengingat-ingat, apakah ada tempat makan enak sepanjang jalan yang akan mereka lalui. Arya masih setia memandangi sisi wajah Janu sedari mereka bicara, sedangkan yang dipandang sibuk fokus menyetir.

"Bapak ada alergi sama makanan tertentu?"

"Gak ada, saya gak punya riwayat alergi. Tapi saya gak suka makan duren."

Mobil berhenti karena lampu berwarna merah, Janu menoleh. "Gak bisa makan buah duren?"

Arya mengangguk. "Kalau makan duren suka mual, apalagi kalau cuma cium baunya."

Janu tertawa. "Bisa-bisanya gak bisa makan buah terenak di dunia?"

"Memangnya aneh ya?" Arya meringis.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang