22.

62 14 7
                                    

Ketegangan siang itu membekukan Janu. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat tangan Vian melayang begitu ringannya mengenai wajah Javier. Disusul dengan suara sumpah serapah yang keluar dari bibir sang sahabat. Raut wajahnya tidak terlihat kesakitan sedikit pun, namun Janu tahu betapa berantakan kondisi Javier sekarang.

"Bangsat! Lo cuma berani karena bawa anak buah!" Teriak Javier tepat di depan wajah Vian.

"Pukulan gue kurang kuat buat bikin lo tutup mulut."

Suara berat Vian mampu Janu dengar, dan suara itu sangat mengejutkan. Suara yang seperti bukan milik Vian.

"Pukulan lembek kayak gitu, gak bakal buat gue bungkam."

Janu memperhatikan jumlah orang disana. Javier terlihat bersama dua tim basketnya, sedangkan Vian beramai-ramai dengan tujuh orang gengnya. Tentu saja itu tidak sebanding untuk sebuah perkelahian.

"Lo gak punya masalah sama gue, jadi lo jangan ikut campur." Vian memperingatkan.

"Gue memang gak punya masalah sama lo, tapi lo punya masalah sama temen gue. Itu artinya lo nyari masalah sama gue."

Vian terkekeh, rautnya terlihat sangat meremahkan.

"Mau jadi pahlawan kesiangan lo?" Sahut salah satu dari geng Vian.

"Masalah lo sama gue Vian! Jangan lo salah target ke Javier." Alvian berseru.

"Apa masalah gue sama lo?"

"Lo ngewe sama pacar gue bangsat!" Suara seruan frustasi Alvian disambut dengan gelak tawa dari kawanan geng Vian.

Janu yang mendengar semua percakapan itu langsung merasa lemah pada tumpuannya. Ia tetap berusaha untuk berdiri dengan menyangga pada dinding lorong.

"Bukan salah gue, kalau dia dengan secara sukarela buka pahanya depan gue."

"Anjing!" Alvian hendak memukul, namun langsung ditahan oleh dua orang yang menahan lengannya.

"Lo manusia paling brengsek yang pernah gue tahu." Ujar Javier, kembali memancing perhatian Vian.

Vian berdecih. "Semua orang sudah tahu gue brengsek."

"Dengan bangsatnya lo nidurin cewek yang lo sendiri sudah tahu dia punya pacar."

"Sudah berapa kali gue bilang, dia yang pasrah gue tidurin. Lo harusnya salahin cewek gatel itu."

Javier semakin geram mendengar jawaban-jawaban Vian yang tidak merasa bersalah sama sekali. Sudah membuktikan betapa brengseknya pujaan hati sang sahabat. Memikirkan itu membuat Javier semakin emosi.

Vian mencengkram kerah Javier kuat. "Sekarang apa yang mau lo lakuin setelah tahu semua itu hah? Lo sadar, lo gak bisa apa-apain gue. Gue bukan kapasitas lo." Vian tertawa kecil, menikmati ancaman-ancaman yang dilontarkannya.

Javier menyeringai, tidak terpengaruh dengan ancaman Vian. "Bukan gue yang bakal buat lo menderita. Tapi orang lain." Ujarnya. Bisa dilihatnya kerutan yang muncul di kening Vian.

"Maksud lo?"

"Lo bakal sadar sendiri nanti."

Cengkraman Vian semakin mengerat, Javier mulai sulit bernafas. Situasi semakin memanas karena satu sama lain saling melemparkan ancaman.

"Lo mau gue buat mampus hah?" Wajah Vian memerah dengan mata yang melotot, emosinya akan meledak sebentar lagi.

"Janu..." Suara Alvian sukses mengalihkan perhatian mereka semua.

Vian menegang pada posisinya, cengkramannya pada Javier perlahan mengendur. Emosi yang tertahan itu langsung mencair, menenangkan dirinya.

"Javier, ayo kita pulang." Kata Janu pelan. Suaranya begitu dingin dan sarat akan ketegasan.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang