36.

13 6 1
                                    

Kedua kalinya Vian mengunjungi rumah Janu, dan kedua kalinya pula ia dapat menghabiskan malam di rumah yang penuh kehangatan itu. Meskipun taman bunga kini sedang menikmati gelapnya malam, tetapi Vian masih dapat melihat beberapa bunga yang bermekaran. Menari-nari ditiup angin malam di bawah cahaya temaram rembulan.

Vian terheran, mengapa sulit sekali rasanya untuk membawa dirinya ke situasi malam dingin yang damai seperti ini. Malam-malam yang dilaluinya selalu dipenuhi keributan, kebisingan tiada akhir yang tak pernah membuatnya mampu memiliki waktu yang optimal untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya.

Bahkan senyum tipisnya malam ini seolah-olah cerminan dari bulan sabit yang bertengger di atas langit malam tanpa awan, memperlihatkan cantik-cantiknya bintang yang tersebar luas.

Sekotak pizza datang bersama beberapa makanan ringan, ditemani dua kaleng minuman soda yang memiliki kadar gula yang tinggi. Tidak sehat, tentu saja. Hanya saja, ada kenikmatan tertentu yang tidak dapat ditolak meskipun jaminan buruk terhadap tubuh yang menelannya.

"Pengantarannya cukup cepat ya."

"Mungkin lagi gak ramai."

"This is, beef. Right?"

"Iya, sesuai pesanan. Bawel."

Vian mencebik, bukan bermaksud untuk memilih-milih. Tapi Vian lebih suka pizza daging daripada variasi pizza lainnya, untuknya pizza memang lebih tepat dipadu padankan dengan daging.

"Lingkungan sekitar sini, memang sering padam listrik?"

Janu menggeleng, mulutnya penuh.

"Berarti sekarang sedang sial."

"Iya, gara-gara lo dateng."

Vian tersedak. "Sialan." Meneguk sodanya untuk melancarkan tenggorokan. "Setidaknya lo beruntung gue dateng kesini."

"Kok?"

"Ada yang jagain lo sekarang."

"Memangnya gue perlu dijagain?"

"Iya, perlu..."

"Tapi gue bukan anak kecil."

"Memangnya jaman sekarang yang diculik cuma anak kecil doang?"

Janu mengedikkan bahu, acuh tak acuh menanggapi obrolan Vian.

"Itu kalau diculik, kalau dirampok gimana?"

"Perumahan disini aman, gak bakal ada perampok."

"Yakin?"

Janu menyipitkan mata, memandang curiga.

Vian dihadapannya tersenyum miring.

"Memangnya lo mau merampok apa?"

"Kok gue?"

"Kan lo yang orang asing di perumahan ini? Mana sampai nanya-nanya perihal perampokan lagi!"

Vian terdiam merasa dongkol, jika dilanjutkan bisa-bisa dia beneran akan diteriaki rampok oleh Janu.

"Rumah lo benar-benar nyaman."

"Semua rumah nyaman."

"Rumah gue gak."

Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan. Tempat penyelenggara kehidupan dan penghidupan bagi setiap orang. Sebuah kebutuhan dasar yang berfungsi sebagai tempat tinggal, maka sudah selayaknya semua orang nyaman berada di rumah mereka masing-masing.

"Terkadang rumah gue tidak lebih dari sekedar bangunan bertembok dingin, gunanya tidak lebih dari untuk ditinggali saja."

Vian membuang pandangan, menghindari tatapan iba yang Janu tujukan padanya. Sebisa mungkin, Vian berusaha untuk tidak ingin orang-orang memandangnya dengan rasa iba. Menurutnya rasa iba itu hanya diberikan kepada orang-orang yang lemah saja, ia cukup kuat untuk melawan semua hal yang terjadi dihidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang