5.

84 17 5
                                    

"Nomor tiga?" Tanya Surya.

Janu mengangguk polos.

"Kok bisa?" Sahut Ruhu.

"Nggak tahu." Janu sudah berusaha mencoba untuk menjawab dengan benar.

"Kamu kurang belajar?" Tuduh Surya.

"Mungkin," tapi Janu tidak merasa. Porsi waktu belajarnya tidak pernah berkurang, masih sama seperti biasanya.

Surya dan Ruhu tidak lagi menanggapi, Surya mengambil pulpen lalu membubuhkan tanda tangannya di lembar rapot sang anak.

"Nggak apa-apa?"

Surya dan Ruhu saling berpandangan.

"Ayah nggak peduli berapa nilai yang kamu peroleh, yang penting kamu nggak pernah memaksakan diri."

"Bunda juga sama, kalau nilaimu turun karena menghabiskan waktu untuk hal yang kamu sukai, Bunda nggak masalah. Apalgai kalau waktumu dihabiskan buat main bareng temen-temenmu, yang penting kamu senang."

Janu hanya mendengarkan.

"Nggak ada alasan buat Ayah sama Bunda marah sama kamu, selama ini kamu juga nggak pernah buat masalah dan selalu jadi anak penurut. Jadi nilai yang turun nggak bakal buat Ayah sama Bunda kesal." Jelas Surya.

"Bunda sudah cukup senang punya anak yang berkepribadian baik."

Dalam hati, Janu juga sangat bersyukur memiliki orang tua yang begitu pengertian terhadapanya.

Janu dibangunkan suhu udara dingin, hal pertama yang ia lihat ketika membuka jendela adalah bentangan kebun teh yang luas. Embun pagi membasahi pucuk-pucuk hijau yang siap dipetik. Fajar di ufuk timu baru saja muncul, terbangun bersamaan dengan Janu yang membuka mata.

Di halaman depan Ruhu dan Surya sedang bercengkrama dengan ponsel mereka. Janu memperhatikan panggilan video yang mereka lakukan. Ia mengkerut, mengenali siapa yang memanggil di seberang sambungan. Sepertinya Ivan sedang memberikan kabar terbaru mengenai dirinya.

Janu bergegas keluar kamar, menuruni tangga, dan menghampiri ke halaman depan.

"KAKAK!" Mereka terkejut dengan kehebohan Janu.

"Hello, my cutie one!" Sapa Ivan dari panggilan video.

Janu mengambil alih ponel Ruhu, membawanya menjauh untuk memiliki waktu berdua dengan Ivan. Sudah menjadi kebiasaan untuk dua kakak beradik itu memiliki waktu pembicaraan empat mata, Janu akan bercerita panjang dan Ivan akan mendengar semuanya, Janu akan banyak banyak bertanya dan Ivan akan siap menjawab. Jauhnya jarak semakin menguatkan kedekatan hubungan mereka.

"Ke rumah kakek lagi?"

Janu mengangguk lesu.

Ivan tertawa meledek. "Kapan mau nyusul ke sini?"

"I will! Soon!"

"Well, I always waiting for you."

Sosok Ivan bukan hanya sekedar seorang kakak. Bagi Janu, Ivan adalah panutan, sumber inspirasi, dan cita-cita yang ingin ia gapai. Menjadi persis seperti sang kakak sudah menjadi impiannya sejak dulu. Jejak-jejak langkahnya sudah Janu tapaki hingga sekarang, dan bisa dikatakan sedikit lagi Janu berhasil menyusul Ivan.

"Ada cerita menarik?"

"Nggak ada, kalau kakak?"

"Well..." Ivan menyunggingkan seringaiannya. Membuat Janu penasaran.

"Apa itu?"

"I bought my first apartment in here!" Seru Ivan, lalu menunjukkan ruangan tempat ia berada. Ruang tamu baru yang cukup luas.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang