25.

84 16 8
                                    

Bagaikan kutub utara dan kutub selatan. Baim memperhatikan kedua atasannya yang nampak bertolak belakang hari ini. Arya terlihat lebih bersinar, menebarkan senyum ramahnya ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Sedangkan Janu dari awal menginjak lobi hingga masuk ke dalam ruangan, auranya bagaikan langit mendung yang pekat.

"Lo belum serahin dokumennya? Gue butuh tanda tangan secepatnya."

"Wait, gue ngumpulin keberanian dulu."

"Lo kenapa jadi maju-mundur gini? Perihal minta tanda tangan doang."

Baim mendelik. "Lo gak liat situasinya kayak gimana?"

"Memang kayak gimana?"

"Pak Janu lagi kelihatan gloomy, kalo lo nyuruh gue masuk sekarang yang ada gue kenak mental."

Vinia merebut dokumennya. "Kalo lo gak bisa kerja, biar gue yang kerja. Mau dia bad mood, good mood, PMS! Pak Janu itu orang yang profesional!"

Baim memanggil-manggil Vinia yang berjalan dengan hentakan kaki yang cukup keras, menimbulkan suara yang menarik perhatian. Menggigit jari begitu Vinia masuk ke dalam ruangan Janu. Pasalnya, bukan pengalaman pertama Baim melihat Janu dengan suasana hati seperti itu, dan memang benar kata Vinia jika Janu akan bersikap profesional. Tetapi trauma yang diakibatkan setelah bertemu dengan Janu cukup membekas.

Sepuluh menit kemudian pintu ruangan Janu terbuka, menampilkan Vinia yang berjalan dengan tatapan kosong, tanpa ekspresi di wajah. Perempuan dipertengahan umur dua puluh itu terlihat lesu, berbanding terbalik dengan dirinya yang menggebu-gebu tadi.

"Kan." Ucap Baim pada rekan kerja beda divisinya itu.

"Gue gak tahu kalo Pak Janu bisa seserem itu."

Baim berdecih. "Beliau memang menyeramkan, cuma casing-nya aja yang keliatan seperti malaikat."

"Kira-kira dia lagi kenapa ya?"

Itu juga yang mengganggu pikiran Baim sejak tadi, apa gerangan yang terjadi dengan atasan yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. Seingatnya kemarin, suasana hati Janu memang sudah tidak baik setelah makan siang mereka. Sampai pulang kerja pun, Janu tidak menunjukkan senyum kemarin. Baim menebak, konsistensi suasana hati Janu yang buruk masih sampai sekarang.

"Gue coba ngomong deh sama Kak Janu. Mungkin ada yang bisa gue bantu buat dia bisa good mood lagi. Takutnya kita semua sulit kerja kalo dia masih dalam suasana hati yang buruk."

"Good idea, gue sampe merinding nih." Vinia mengelus bulu-bulu halus tangannya yang meremang. "Gila sapaan gak ada, ngeliat gak, sampe senyumpun enggak. Ngeri deh."

Setelah mengucapkan pengalaman singkatnya, Vinia berlalu meninggalkan Baim dengan rasa penasarannya. Ditambah sekarang yang memasuki ruangan Janu adalah Arya, mata Baim langsung memicing untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya di balik pintu ruangan itu. Mungkin saja Arya akan mengalami hal yang serupa seperti Vinia, meskipun Arya notabene adalah atasan Janu.

"Mau makan siang?"

"Belum lapar?"

"Makan siang di luar sama saya?"

"Saya lagi malas keluar, banyak kerjaan."

Firasat Arya benar, Janu sedang tidak dalam suasana hati yang baik.

"Kamu kelihatan bad mood?"

Arya memperhatikan Janu pagi ini. Bukan hari ini saja, namun hampir setiap hari. Bahkan setiap waktu. Ketika kesempatan itu ada, Janu yang berada di jangkauan pandangannya. Arya akan memberikan seluruh perhatian penuhnya pada sosok pemuda itu, tidak akan ia biarkan kesempatan sia-sia barang sedikitpun.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang