11.

48 13 3
                                    

Dalam lift, Janu menatap kosong. Menerka-nerka maksud dibalik ekspresi wajah Arya tadi. Atasan barunya itu seperti sedang mengejeknya, Janu tidak ingin punya pemikiran yang salah. Mereka baru saja berkenalan. Ia perhatikan dari belakang punggung lebar milik Arya, dibaluti jas yang sangat pas seperti memang dibuatkan khusus untuknya. Samar-samar ia mendengar pembicaraan Toso dan Arya, tentu saja masih seputaran bisnis. Janu tidak ingin menimbrung, ia sibuk berkelana dalam kepalanya. Memutuskan untuk lebih banyak mengunci mulut.

Lift tiba di lantai satu, Toso lantas meninggalkan mereka tanpa berpamitan lagi. Berdiri canggung di lobi utama kantor, diperhatikan oleh beberapa pasang mata yang penasaran dengan Arya. Janu menjadi gugup.

"Sekarang ke mana?" Tanya Arya.

Janu berkedip, ia belum menyusun rencana untuk Arya hari ini. "Apakah bapak mau melihat ruangan terlebih dahulu?" Tanya Janu asal, sudah kepalang bingung. Yang penting ia tidak terlihat kebingungan.

"Boleh."

Mereka kembali masuk ke dalam lift. Janu menekan lantai lima, tempat di mana ruangan mereka berada. Janu baru sadar juga, jika ruangan mereka akan berdekatan di lantai yang sama.

"Sudah berapa tahun kerja di sini?"

Janu melirik sebelah kanannya, mereka bersebelahan. "Sekitar lima tahun."

Bibir Arya membulat. "Cukup lama, betah?"

Janu menarik sudut bibirnya. "Syukurnya betah ."

Hening. Lift masih bergerak ke atas.

Janu kembali melirik, tepat saat Arya juga melakukan hal yang sama. Kompak mereka langsung mengedarkan pandangan, tiba-tiba merasa canggung.

"Sepertinya umur kita tidak beda jauh, jadi panggil pakai nama saja."

Janu mengerut. "Tapi kurang sopan."

"Santai saja. Kita di sini juga sebagai rekan kerja, mengenyampingkan jabatan atasan dan bawahan."

Diam-diam Janu memperhatikan ekspresi Arya dari pantulan lift. Melihat bagaimana santainya ia mencairkan suasana di antara mereka. Seketika ia terpikirkan apakah perlu atau tidaknya mereka membahas apa yang telah terjadi di antara mereka. Lebih baik jika langsung menghilangkan rasa malu dan canggung, daripada harus mendiamkan seolah-olah menjadi rahasia umum yang tidak bisa dihindari satu sama lain.

Namun ketika Janu menarik nafas panjang bermaksud meredakan kegundahannya, aroma parfum Arya yang melingkupi ruangan lift membungkam niat Janu. Aroma itu benar-benar sama, persis seperti kenangan malam itu. Harapnya demikian. Tapi ada kenangan yang lama terpendam kembali muncul. Janu terlempar kembali ke masa lalu yang telah ia kubur. Hanya karena sebuah aroma parfum.

Suara lift berdenting, Janu mengerjap mengusir perasaan yang familiar.

"Silahkan," Janu mempersilahkan Arya keluar lebih dulu. Lalu ia menyusul dan segera berjalan di depan.

Mereka melewati meja-meja yang bersekat setinggi dada orang dewasa, di balik sekat-sekat itu ada kumpulan mata yang memperhatikan. Tatapan penasaran masih tertuju pada Arya, selaku pemangku jabatan tertinggi dan orang baru di gedung itu.

"Khusus di lantai ini, diisi oleh divisi-divisi internal yang bertugas mengurus inti dari perusahaan. Mulai dari accounting, marketing, dan para admin. Mereka berada di lantai ini agar lebih cepat memproses jika ada kendala." Jelas Janu, menjelaskan pekerjaan masing-masing karyawan yang berada di balik sekat-sekat itu.

"Mari." Janu kembali menggiring Arya menuju sebuah ruangan yang tepat berada di tengah-tengah. Janu membuka pintu ruangan, mempersilahkan Arya masuk. Ruangan itu bekas milik Arifin dulu, tapi sekarang nampak begitu berbeda. Mungkin mereka telah melakukan dekorasi ulang agar Arya lebih nyaman.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang