29.

49 13 6
                                    

Senja di Yogyakarta adalah suatu pemandangan yang Janu tak tahu akan seindah itu. Berdiri di balik dinding kaca yang menampilkan warna senja yang begitu memanjakan mata, matahari jauh disana tiba-tiba mencuri pandangnya setengah jam yang lalu, mengintip dari sela-sela tirai kamar.

Janu baru saja terbangun dari tidur siangnya yang singkat. Ia berusaha kabur dari Arya yang terus saja mencoba menggodanya tadi, beralasan jika dirinya lelah dan ingin beristirahat membuat Arya tidak bisa berkutik lalu mundur memberi waktu dan ruang. Hingga akhirnya pemuda itu menghilang dan tak terlihat batang hidungnya di dalam kamar mereka yang luas.

Masih tidak habis pikir untuk bagaimana dirinya menanggapi sikap Arya. Sejak awal Janu sudah menduga jika dalam perjalanan bisnis mereka kali ini terkesan berlebihan, apalagi dengan sikap Arya yang berubah-ubah. Kadang berperilaku seperti atasan pada umumnya, lalu berubah memperlakukan Janu bagaikan seseorang yang tidak boleh lepas darinya.

Ini sangat memusingkan karena Janu sendiri tidak tahu harus mengambil tindakan seperti apa. Jika salah, nanti Janu bermasalah ketika Arya sedang bersikap sebagai atasan. Tapi jika Janu menurut saja, sedangkan Arya sedang bersikap semena-mena. Janu lebih suka dikasih kepastian. Diberikan hal yang pasti-pasti saja.

Hari pertama di Yogyakarta dan Janu sudah kebingungan akan banyak hal. Entah dari pasangan berliburnya, maupun kegiatan apa yang perlu dia lakukan disini. Disatu sisi tidak ingin menyia-nyiakan waktu, namun disatu sisi bingung untuk melakukan apa lebih dulu. Rencana itu sudah ada, namun belum tersusun dengan rapi dalam kepalanya.

"Sudah bangun?"

Janu bergidik. Arya mengejutkan dalam lamunan.

"Sudah."

Arya ikut berdiri di sisinya, menikmati pemandangan senja di Yogyakarta. Kini mereka disinari warna senja yang sama. Ketika Janu menoleh, wajah Arya yang disinari warna senja berkali-kali lipat lebih tampan. Memandangnya begitu kentara sampai tidak peduli Arya menoleh memergokinya memandang begitu memuja.

Arya tersenyum tipis. "Sekarang mau kemana?"

Janu menggeleng polos, alam bawah sadarnya yang menjawab.

"How about we have our dinner first?"

"Boleh, mau makan dimana?"

Arya melirik sudut kanan atas, mencari beberapa pilihan untuk Janu pilih. "Western food or Indonesian food?"

Persis seperti saat ini. Arya menanyakan pendapatnya, dan membiarkannya memilih untuk memberikan keputusan. Setahu Janu bukan sikap atasan yang wajar untuk membiarkan bawahannya menentukan tujuan mereka, meskipun itu hanya sekedar makan malam.

Maka di keheningan waktu yang terjadi Janu tidak menjawab, masih memandangi wajah Arya yang tersinari senja Yogya. Merasa pemandangan senja menjadi lebih indah hanya dengan wajah Arya yang menjadi bagian darinya.

Keterdiaman Janu yang membingungkan memiliki arti lain untuk Arya. Dipandang dengan intim seperti itu, ingin ia jujur saja jika hatinya berdebar-debar. Namun anehnya bibirnya ikut bungkam dalam keterdiaman, membuat bahasa tubuhnya yang bergerak untuk menyampaikan. Tangan kanan itu perlahan mengelus pipi Janu mesra, menikmati bagaimana stuktur lembut dari kulit wajah yang memiliki proporsi cantik dan tampan itu. Wajah favorit Arya.

Tidak pernah sebelumnya Janu membiarkan orang-orang menyentuh wajahnya tanpa maksud yang jelas seperti ini, bahkan tidak untuk orang-orang terdekatnya. Tidak boleh senyaman ini. Janu selalu tegas, menghargai situasi, menjaga jarak, dan harus mendapatkan kepastian maksud dan tujuan. Ingin ia menekankan hal itu lagi, hanya saja yang ia hadapi sekarang adalah Arya. Seseorang yang berhasil terus dan terus meluluhkannya, hanya karena fakta ia memiliki kemiripan dengan masa lalu Janu. Itu yang Janu tekankan pada dirinya. Arya mengingatkan Janu pada rasa terbuai yang lampau.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang