14.

52 17 7
                                    

"Jemputan gue udah dateng." Dari arah gerbang Janu melihat mobil Surya datang pelan menghampiri mereka. Janu dan Vian kompak berdiri dan menunggu di sisi.

"Selamat siang om," Vian menjadi orang pertama yang menyapa.

"Loh, Vian ya?"

"Iya om!" Vian senang karena Surya masih mengingatnya.

"Ternyata kamu beneran teman sekolahnya Janu."

"Ayah!" Hardik Janu.

"Hehe, iya om. Saya gak bohong." Vian paham Surya hanya berbasa-basi.

"Kamu nunggu jemputan juga?"

Vian menggeleng. "Saya cuma nemenin Janu, saya ada bawa motor."

"Owalah, tahu gitu kenapa kalian gak pulang bareng tadi? Daripada nungguin saya dateng, sekarang macetnya semakin parah."

Janu membola, Surya baru saja memberikan saran yang kurang tepat.

"Boleh tuh om, saya bisa pulang sama Janu besok."

Janu langsung menoleh dengan kerutan, ia terheran dengan respon Vian yang begitu bersemangat.

"Baiklah, aman kalo begitu."

"Apanya yang aman yah, ini malah bikin Vian kerepotan. Arah rumah kita juga beda, yang ada Vian muter-muter tiap hari." Janu protes.

"Lo tahu rumah gue?"

Janu keceplosan, ia tahu secara diam-diam dari buku biodata kelas. "Dulu gue pernah denger dari anak-anak."

"Yang bilang kamu harus pulang terus sama Vian siapa? Kan masih ada Javier. Kayaknya ayah bakal serius minta tolong, supaya kamu gak kelamaan nunggu pulang."

"Ide bagus om."

Janu semakin tidak tahan, tak sanggup mendengar ocehan Surya dan tanggapan penuh semangat dari Vian. Lama-lama ia bisa salah tingkah.

"Sudah-sudah, itu urusan belakangan. Sekarang aku mau pulang." Janu bergegas masuk ke dalam mobil, membuat Surya tak punya pulihan selain menyalakan mobil dan segera pergi.

Janu tidak berkata apapun lagi pada Vian, ia hanya melambaikan tangan dan Surya membunyikan klakson dua kali sebagai sapaan. Vian membalas dengan lambaian tangan selagi memandangi kepergian mobil itu.

Setelah menghilang dari gerbang, Vian bergegas ke parkiran untuk mengambil motor. Di tengah perjalanan, ia berhenti untuk mengeluarkan ponselnya, tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Vian mencari kontak yang baru disimpannya tadi dan mengetikkan sebuah pesan singkat, senyum merekah di bibir pemuda itu ketika membaca pesan sekali lagi sebelum mengirimnya. Usai mengirim pesan ia memasukkan ponselnya ke saku, melangkah sebentar lalu berhenti lagi. Vian mengeluarkan lagi ponselnya untuk mencari kontak yang sama, ia mengganti nama konta itu dengan nama yang baru.

Sahabat Pertama.

Janu masih kesal dengan Surya, ia tidak suka cara Surya yang blak-blakan berbicara masalah penjemputan dengan Vian. Itu membuatnya sangat malu, disaat keterdiamannya di dalam mobil Janu mendengar pesan masuk dari ponselnya. Ia mengerut melihat nama kontak Vian yang muncul.

"Besok mau pulang bareng?"

Janu sampai harus membaca ulang pesan itu, memastikan ia tak salah baca. Secepat inikah, semuanya terjadi. Jantung Janu berdegup kencang, rasanya ia terlalu takut untuk bersekolah besok, belum siap dengan ajakan mendadak itu.

Semalaman Janu mencoba untuk mengalihkan fokusnya yang terus teralih sejak pulang tadi. Ia tidak bisa melakukan rutinitas sehari-harinya di rumah, novelnya yang tertutup, tugas rumah yang masih kosong tanpa jawaban, ponsel yang dilupakan, dan diary birunya yang tak tertulis apapun. Ia tidak menduga seseorang akan mampu membuatnya seperti ini.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang