13.

51 16 6
                                    

Satu hal yang Janu tahu setelah liburan yang mengesankan kemarin adalah, semua kembali normal apa adanya. Tidak ada yang berubah, bahkan percakapan-percakapan panjang yang terjadi malam itu, terbawa angin malam yang tak sampai ke matahari pagi.

Janu masih tetap mengagumi Vian dari kejauhan, fakta yang harus disadarinya.

"Lo yakin sama apa yang lo ceritain waktu itu?"

"Hm."

"Kok gue ngerasa lo cuma berkhayal ya?"

Janu menghela nafas. "Gue nggak mengkhayal, dan gue cerita yang sebenarnya."

"Tapi, kalian berdua kok tetap asing?"

Janu merasa ini masih terlalu pagi untuk Javier banyak bertanya. Apalagi banyak dari pertanyaan-pertanyaan itu yang tidak bisa ia jawab. Melihat dari situasinya sekarang, semua cerita yang Janu sampaikan pada Javier akan terlihat sebagai sebuah kebohongan.

Janu merebahkan kepalanya di atas meja, menumpuk kedua lengannya sebagai bantal.

Dalam hati membenarkan pendapat Javier tentang kebosanan Vian hingga ia mau menghabiskan waktu bersamanya malam itu. Janu menghela nafas, mengapa ia harus berharap lebih? Bukankah semuanya memang selalu seperti ini? Tidak ada yang akan betah berada di sekitarnya, hanya Javier seorang. Janu menghelas nafas lagi, Javier memperhatikan itu.

"Hey, are you okay?"

"Yup, I'm fine..." Jawab Janu lemah.

"Alright then, gue mau ke kantin dulu memanfaatkan jam kosong sebaik mungkin." Javier berdiri dari kursinya. Menunggu beberapa detik sebelum beranjak, ia masih memberi kesempatan Janu merespon. "Lo gak mau ikut?"

Janu menggeleng.

"Yakin?"

Janu mengangguk.

Javier mengedikkan bahu acuh, ia pergi setelah merapikan kursinya. Meninggalkan Janu yang memutuskan untuk menidurkan dirinya, mengalihkan pikirannya dengan mimpi-mimpi aneh di siang hari. Satu hal yang tetap Janu syukuri, ia benar-benar memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Vian, bertukar cerita, dan menghabiskan waktu dengan tawa. Sesuatu yang Janu tidak pernah duga.

Namun Janu tetaplah Janu, ia bukanlah seseorang yang akan memusingkan sebuah masalah hingga menyia-nyiakan waktunya. Dan masalah kecil yang mengganggu hatinya seperti ini, tidak akan berarti apapun untuknya. Janu menyukai Vian, tapi ia tidak akan memberikan hatinya begitu saja.

"Pulang sendiri?"

"Dijemput."

"Om Surya?"

"Supir pribadi gue cuma dia doang."

Javier berdecak, hari terlalu panas untuk Javier meladeni lelucon Janu. "Mau gue temenin? Kayaknya lama banget lo dijemput. Sekolah udah mau sepi nih."

Janu melihat sekitar lapangan rumput tempatnya menunggu, hanya tinggal beberapa orang saja. Sekolah telah lama usai, Janu suka tidak memperhatikan sekitarnya. "Bukannya lo ada latihan basket hari ini?"

"Telat setengah jam juga gak masalah."

"Mentang-mentang kapten, memanfaatkan posisi sesuka hati."

Javier merespon dengan siulan.

"Gak usahlah, gue juga bukan anak kecil yang harus ditungguin."

"Lo memang bukan anak kecil. Tapi kalo lo lagi dalam masalah, pasti lo cari-cari gue terus."

Janu terkekeh. "Karena cuma emang lo yang bisa gue andelin." Janu membentuk jantung dengan tangannya, membuat Javier bergidik geli.

"Jadi gue tinggal nih?"

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang