21.

53 15 3
                                    

Janu merasa lebih baik pagi ini. Kekesalan yang membelenggunya kemarin hilang bersama kesadarannya ketika tidur semalam. Pun sama dengan pemikiran-pemikiran membelitnya mengenai tingkah polah Arya yang membingungkan.

Mulai sekarang ia akan membiarkannya mengalir saja, apapun yang Arya inginkan darinya akan Janu berikan sesuai kemampuannya. Dengan batasan-batasan tertentu sebagai atasan dan bawahan.

Hari ini sinergi di kantor juga baik, semua terlihat terkendali. Pekerjaan lancar tanpa kendala, benar-benar membantu suasana hati Janu membaik. Janu melirik jam dinding dalam ruangannya, sebentar lagi makan siang. Lalu seperti biasa lima menit sebelum jam dua belas, pintu ruangannya akan terbuka.

"Kak mau makan?" Baim melongok di sela pintu, tanpa mengetuk.

"Boleh." Jawab Janu tanpa ragu. Beranjak keluar ruangan menuju kantin di lantai bawah bersama Baim.

"Tunggu deh kak!" Seru Baim sebelum Janu memencet tombol lift.

"Kenapa?"

"Pak bos baru gak ikutan?"

"Lo mau ngajak Arya?"

"Arya?"

Janu berdehem. "Pak Arya."

"Gak juga sih. Tapi, siapa tahu dia juga mau makan siang."

"Mau makan siang, ya tinggal makan."

"Bukan gitu maksud gue kak."

Janu menghela kesal. "Lo mau jadi bareng makan siang atau gue tinggal duluan?"

Baim panik. Langsung menekan tombol lift untuk menuju lantai bawah. "Gak banget cara ngambek lo kak." Baim mendumel.

Meskipun terdengar sangat tidak peduli dengan raut cueknya, namun Janu malah menemukan dirinya memikirkan Arya selama sesi makan siang. Ia bahkan tidak terlalu menggubris pembicaraan yang sedang berlangsung di meja makan, pikirannya melayang ke ruangan Arya yang tidak pernah terbuka sejak pagi tadi.

Janu baru ingat mereka belum bertemu hari ini.

"Kak gue ada undangan pertemuan komunitas pecinta buku, lo mau ikut gak?" Tanya Citra, yang duduk di hadapan Janu.

"Kapan?"

"Weekend. Friday night."

Janu mengangguk, jadwalnya kosong hari itu. "Boleh, sudah lama juga gue gak kumpul sama komunitas lo."

"Gue boleh ikut?" Sahut Baim.

"Gak, yang ada lo malah tidur!"

"Gak ya Cit, ikut acara gituan kan minimal bisa baca."

Citra mendelik. "Percuma lo bisa baca tapi gak paham!"

Baim menujulurkan ujung lidahnya mengejek. "Dasar kaum kutu buku."

"Kak, kalo lo izinin. Bakal gue lempar monyet botak ini pake piring!"

Janu terbahak. "Kenapa monyet botak?"

"Iya, bulunya gak ada."

"Sialan!" Seru Baim.

"Citra!" Meja panjang itu didatangi seorang wanita, rautnya menunjukkan kesenangan tertahan dan ketidaksabaran.

"Lo kenapa sih vin?"

"Gila, gue cari lo keliling ternyata masih di kantin."

Citra memaklumi kebodohan Vinia ketika wanita itu sedang bersemangat seperti ini, sampai lupa jika mereka mempunya handphone untuk berkomunikasi dan menanyakan posisi.

"Ya memangnya kenapa sih?"

Vinia berdehem, mengambil posisi duduk di sebelah Citra, melirik lima orang lainnya yang duduk di meja itu. Ada keraguan pada sorot matanya, namun sayangnya rasa tidak sabaran membuatnya tidak kuat menahan kata.

EVER SINCE (Cinta Pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang