Dilla's POV
5 bulan kemudian....
Hentakan kaki terdengar di seluruh penjuru koridor sekolah. Suasana memang terlihat sepi. Jarum jam sudah menunjukkan angka 3 lewat 20 menit. Aku berlari seraya memegang tasku yang sudah tidak karuan bentuknya. Dengan terengah engah aku pun tiba. Semua teman-teman mengarah kepadaku yang terlihat ngos-ngosan.
"Maaf aku telat coach. Maaf semuanya." aku menundukkan kepalaku karena malu.
"Oke kita lanjutkan lagi ya." Coach Irwan sepertinya tidak menanggapiku.Coach Irwan merupakan pelatih yang sangat disiplin. Aku merasa tidak nyaman. Jika aku tahu akan seperti ini, lebih baik aku tidak perlu hadir. Aku malu.
Namaku Ranindya Faradilla Achmad. Aku selalu dipanggil Dilla oleh semua orang yang kukenal. Walaupun aku pemain basket, aku bukanlah anak yang tomboy. Aku sangat menyukai olahraga. Terutama sepakbola. Namun, karena ekstrakurikuler futsal di sekolahku hanya untuk laki-laki, maka aku mengikuti ekskul basket.
Aku adalah penggemar berat klub sepakbola Liga Inggris, Liverpool. Aku selalu update mengenai sepakbola. Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Rifky Jaufar Achmad yang usianya beda 8 tahun denganku. Dan dia merupakan fans dari rival klub idolaku, Manchester United. Walau begitu, kami tetap saling menyayangi.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Rintik hujan mulai menyapa ditemani langit yang kelam. Tiba-tiba air langit itu datang bersama koloninya dengan cepat, dan seketika membasahi sekujur tubuhku yang sudah lemah setengah terbunuh. Frekuensi jalanku bertambah menjadi berlari kencang. Aku merasa seperti Usain Bolt.
Bodohnya aku, kubiarkan tasku menikmati air hujan sehingga buku-buku pelajaranku ikut mandi sore. Akhirnya aku memutuskan untuk meneduh dulu di tempat jualan gorengan. Penjual gorengan itu mempersilakanku masuk ke dalam untuk berteduh. Gerobak nya memang diberikan terpal sehingga mereka tetap dapat menjajakan makanan yang mereka buat.
Aku melepas jaketku dan kini aku hanya mengenakan baju tim basketku karena aku tak sempat mengganti pakaianku. Aku melihat suami istri ini saling membantu dalam berjualan mereka. They look so sweet. Aku menjadi iri melihatnya. Namun dilihat dari raut wajah, sepertinya mereka memiliki jarak usia yang lumayan jauh. Karena sang istri masih sangat muda dan tidak terlihat kerutan.
Karena tidak enak jika hanya berteduh, aku pun membeli gorengan itu dan aku juga merasa lapar sehingga tidak ada salahnya aku jajan hujan-hujan begini.
"Mang, gorengannya 5000 ya."
"Apa aja neng?"
Aku menyebutkan beberapa gorengan yang ingin ku makan. Mang mang itu pun melayaniku dengan baik. Dalam benakku aku masih penasaran dengan hubungan mereka. Akhirnya aku berani untuk bertanya.
"Mang sama Bibi teh suami istri?"
Keduanya menoleh ke arahku. Aku menjadu malu, takutnya aku salah bicara. Tetapi, mereka berdua malah tersenyum."Betul neng." jawab si Bibi.
Akhirnya rasa ingin tahuku terbayarkan."Kenapa gitu neng? Nggak keliatan ya?" tanya si Mang. Aku hanya cengengesan.
Duh! Aku takut mereka tersinggung demgan pertanyaanku."Mang sama Bibi memang suami istri, tapi yang bikin keliatan beda itu umur kita beda 10 tahun." jelas si Mang.
Aku terkaget. 10 tahun? Jauh banget. Aku sama mantan-mantanku saja beda beberapa bulan. Ah. Apasih jadi kesitu."Oh iya? Kok bisa Mang? Emangnya enak ya?" aku kembali melontarkan pertanyaan yang kurang ajar.
"Enak enak saja neng selama cintanya karena Allah mah." jawab si Bibi. Aku terkagum dengan si Bibi yang mau menikah dengan orang yang beda 10 tahun usia dengannya. Biasanya kan kita nggak mau nikah sama orang yang jarak usianya kejauhan.
Rintik rintik air hujan sudah tak terdengar lagi. Langit sudah berhenti menangis. Aroma hangat gorengan masih tercium. Aku sudah menghabiskan gorenganku.
Aku berterimakasih kepada Mang dan Bibi sambil berpamitan pulang.Aku kembali dengan kebiasaan burukku, berlari di tengah genangan air. Jarak rumah dengan sekolah memang jauh, tetapi tidak ada angkutan umum yang melintas sehingga aku lebih sering diantar. Kadang juga aku membawa motorku, atau sesekali aku berjalan kaki ke sekolah seperti hari ini.
Akhirnya, aku tiba di Komplek Rumahku yang jaraknya 2 km dari sekolahku. Sebuah rumah tipe 60 berhiaskan cat hijau muda. 2 buah mobil terparkir disana. Juga terdapat 2 motor yang salah satunya milikku. Disinilah aku menelantarkan hidupku.
Aku hidup bersama mama, papa, dan Mas Rifky, kakakku. Papaku bekerja sebagai dokter, mamaku bekerja sebagai fashion designer, dan kakakku sedang menyiapkan S2 dan bekerja juga sebagai publisher di sebuah majalah olahraga elektronik. Kami memiliki asisten rumah tangga bernama Mbak Indri dan Pak Suryadi sebagai supir papa. Kadang Pak Suryadi hanya disuruh menjaga rumah.
Aku dan Mbak Indri sangat dekat. Kami sering bertukar cerita. Mbak Indri juga sering menceritakan keluarganya di Bekasi. Dia selalu bilang kalau dia kangen sama suami dan anaknya. Mbak Indri tahu semua tentangku, bahkan tentang cowok ini.
"Darimana aja kamu?" suara papa sontak mengagetkanku karena aku masuk rumah dengan mengendap-endap.
"Latihan basket kan pa. Hujan lagian." jawabku santai.
"Yasudah cepat ganti baju sama mandi." Papa mengangkat cangkir kopinya.
Aku pun mengangguk dan melangkahkan kakiku menuju kamarku dengan harus melewati 19 anak tangga.
Aku tiba di surga duniaku. Kamarku yang bercat hijau (juga) ini merupakan tempat terindah di dunia bagiku. Disini terdapat 1002 rahasiaku. Aku menghadap cermin. Sepertinya hari ini aku kurang beruntung. Penampilanku benar-benar menyedihkan. Seperti gembel. Aku tidak tahan dengan penampilanku yang seperti ini. Aku segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
Kaos polos pink dan celana 3/4 coklat sudah ku kenakan. Aku berlari menuju ruang makan. Sepertinya aku banyak berlari hari ini.
Terlihat mama sedang menyiapkan makanan, papa sedang sibuk menelepon di kursi meja makan dan Mas Rifky yang sedang menyodorkan bangku untuk dirinya. Makan malam hari ini adalah sup gurame dan oseng buncis. Kami pun makan bersama. Tiba-tiba Mas Rifky berbicara padaku.
"Dileh." panggilnya. Dia memang suka memanggilku seperti itu.
"Ya mas." jawabku dengan mulut penuh makanan.
"Kamu punya pelatih yang seumuran sama mas kan?"
Aku mikir. Aku langsung teringat coach Irwan.
"Enak saja. Dia beda 3 tahun sama mas." Gerutuku tak terima.
"Ya itu lah pokonya. Kamu punya kontaknya gak?"
"Ada. Mau ngapain?"
"Mau tau aja lo. Urusan mas sama dia nih. Namanya siapa?"
"Yeeh biasa aja kali. Coach Irwan."
"Habis makan mas minta ya."
"Iya tapi aku bilang dulu ke coach. Dia mah suka ribet orangnya."
"Terserah lo aja deh dek." Mas Rifky melanjutkan makannya.
Dia itu sebenarnya perhatian padaku. Tapi kalau depan mama papa memang begini.
"Coach Irwan itu pelatih basket kamu kan dil? Yang ganteng itu."
celetuk mama. Mama memang gak bisa jaga rahasia."Lo suka sama dia leh? Hahahahaha." Mas Rifky terbahak-bahak.
"Apa sih mas emang dia ganteng kok! Mama juga apaan sih." aku sedikit tersinggung.
"Sudah-sudah jangan berantem." lerai papa.
Setelah selesai makan malam, aku kembali menuju kamarku. Aku mengambil handphoneku dari meja belajar.
Aku tersentak melihat 6 panggilan tak terjawab dan 15 new messages dari line.
Bukan.
Bukan karena banyaknya panggilan dan pesan. Melainkan dari orang yang menelpon dan chat padaku.
Ya. Cowok itu...
minta vote dan commentnya yaaahh ceritanya masih perlu diperbaiki lagiii karena aku masih newbie.... Thank youuuu

KAMU SEDANG MEMBACA
Distance Between Us
Teen FictionOrang yang aku cintai selama 2 tahun mungkin tidak akan selamanya bisa bersamaku. Apakah aku harus tetap mencintainya atau aku harus menikahi orang lain? Dia dan orang itu sama-sama memiliki 'jarak' denganku. Namun berbeda maknanya. Siapakah yang ha...