Part 15 → Last Farewell

71 4 0
                                    

Sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Praktek yang kemudian disusul dengan Ujian Sekolah, kemudian nanti finalnya Ujian Nasional. Benar-benar banyak sekali materi pelajaran yang harus ku kuasai. Aku sangat frustasi dengan semua mata pelajaran yang kebanyakan omong kosong ini.

Mengapa kuanggap omong kosong? Semua ini takkan ada artinya. Manusia tidak akan bisa menguasai seluruh ilmu. Setiap orang memiliki kelebihan, tapi tak semua kelebihan dimiliki setiap orang. Lalu apakah dengan kita sebagai pelajar menguasai seluruh mata pelajaran maka kita akan jenius? Apa semua ilmu yang kita dapat akan berguna? Tidak. Bahkan sistem pendidikan di Indonesia itu hanya menyuruh kita untuk hafal, bukan paham. Buktinya, masih banyak angka pengangguran di negara kita ini. Aku cukup sedih dengan kebijakan pemerintah tentang hal ini. Membuat anak-anak tak semangat untuk menuntut ilmu. Ya, karena mereka yang 'dituntut' bukan 'menuntut'.

Sudahlah, ini hanya membuang-buang waktuku saja. Aku lebih baik menenangkan diri di halaman rumahku. Kebetulan aku sedang sendiri di rumah. Papa, Mas Rifky dan Pak Suryadi sedang pergi ke Jakarta untuk menengok Tanteku yang sedang sakit. Sementara Mbak Indri diizinkan pulang selama seminggu ke Bekasi. Memang rasanya sepi sekali. Tapi aku sudah terbiasa ditinggal seperti ini.

Aku pun memainkan tabku di halaman rumahku. Tak lama kemudian video call masuk dari Tama. Aku sangat antusias untuk menerima panggilan darinya.

"Haaiiii..."

"Heiiii, aku kangen."

"Aku jugaaaa dilll."

"Kamu kapan ke rumah?"

"Ga tau nih, aku sama kelompok aku lagi sibuk banget soalnya. Terus takut dosen tiba-tiba dateng."

"Aku sendirian di rumah. Sepiiii banget. Temen-temen pada jauh rumahnya. Mau pergi keluar takut ada tamu."

"Oh yaaa? Maaf yaaa aku nggak bisa kesana."

Tiba-tiba...

BRAKKK!!!!!!

Tabku terjatuh. Seseorang membungkam mulutku dengan sapu tangan. Aku berusaha memberontak, tetapi orang itu kuat sekali. Dengan pakaian serba hitam dan topeng. Terdengar suara video call Tama yang panik.

"Dilla!!!!!"

"Woy lo mau ngapain anjing?!!!!"

"Woy lepasin cewek gua!!!"

"Woy!!!!"

Orang itu menutup video call kami dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih membungkam mulutku. Sampai akhirnya pandanganku kabur. Suara-suara yang kudengar samar-samar. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

-O-

Tama's POV

Apa yang terjadi dengan Dilla??? Siapa orang itu? Aku benar-benar kaget dan cemas! Aku harus segera mencari Dilla!

Aku mencari ketua kelompokku untuk izin dari kunjungan.

"Za, maaf sebelumnya. Tama mau izin sebentar boleh?" pintaku dengan sangat panik.

"Oh ya ya boleh." jawab Reza ketua kelompokku.

Aku pun segera keluar dari rumah sakit. Aku mengemudikan mobilku dengan cepat. Sambil terus menerus menghubungi ponsel Dilla. Karena aku yakin si penculik takkan membawa tab Dilla.

Berkali-kali ku telepon tetapi tak diangkat. Aku memukul stirku. Aku memutuskan untuk ke rumah Dilla siapa tahu masih ada penculiknya.

Beberapa menit kemudian aku tiba di rumah Dilla. Sudah tidak ada siapa-siapa. Pintu rumahnya masih terbuka lebar. Dan benar saja, tabnya tertinggal. Saat aku akan membuka tabnya, aku langsung melihat notes yang sepertinya baru ditulis.

Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang