Satu per satu tetangga dan kerabat mendatangi rumahku. Mengucapkan bela sungkawa. Hal ini membuatku semakin bersedih. Teman-temanku datang membawakan karangan bunga untukku.
"Dillaaaa..." Marvin menghampiriku dan memelukku. Aku membalas pelukannya. Tangisanku memecah saat sahabatku yang lain ikut memelukku. Sahabat-sahabatku benar-benar yang terbaik. Mereka ada disaat aku terkena musibah. Mereka bahagia saat aku bahagia.
"Sayangkuu yang sabar ya. Ya Allah nggak tega aku..." Andien ikut menangis. Andien ini anaknya memang sangat lembut dan penyayang. Sangat mudah tersentuh hatinya alias memiliki rasa empati yang tinggi. Namun sangat sulit untuk jatuh cinta.
"Makasih semua." ucapku dengan suara yang sangat parau.
"Dilla, aku turut berduka." tiba-tiba Tama berada di depanku. Aku pikir dia takkan pernah kesini lagi. Dia datang bersama Bunda.
"Makasih." aku menundukkan kepalaku. Namun ternyata dia memelukku.
"Maafin aku ya."
Akhirnya aku membalas pelukannya. Aku kembali menangis di pundaknya.
"Mama tam... mama." rintihku. Tama hanya mengusap-usap punggungku.
Tama berhenti memelukku. Kini giliran Bunda yang memelukku.
"Anak Bunda sayang. Kuat ya sayang. Maafin Bunda waktu kemarin jadi benci sama kamu. Mungkin kamu nggak tahu. Tapi Bunda nggak bisa benci sama kamu sayang. Kamu sama tama jangan jadi musuhan ya. Kamu anak bunda."
Apa? Bunda benci sama aku? Apa yang udah Tama bilang ke Bunda? Apa Tama ngasih tahu penyebab putusnya kami? Kenapa Tama setega itu?
Aku langsung melepaskan pelukan Bunda. Bunda sepertinya heran dengan sikapku.
"Iya bunda." ujarku singkat.
"Aku pulang dulu Dil." pamit Tama. Aku hanya mengangguk. Aku kembali bersama teman-temanku.
"Cieee pelukan! Balikan nggak?" celetuk Misya. Arthir kemudian menyenggol Misya.
"Lagi kayak gini masih aja bercanda!" tegurnya. Misya hanya cemberut.
Karangan bunga terus berdatangan. Mulai dari perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan butik mama, rumah sakit tempat kerja papa, sampai perusahaan websitenya Mas Rifky.
Mama... semua orang ngedoain mama. Semua orang sayang sama mama. Mama lagi apa? Aku harap mama juga kangen sama aku.
-O-
Hari kedua setelah kepergian mama. Beberapa keluarga besar dari luar jawa dan luar negeri mendatangi rumahku. Kini, rumahku penuh oleh saudara-saudaraku terutama para keponakan yang masih bocah.
Aku minta izin ke Mas Rifky untuk jalan-jalan di halaman rumah. Melihat pemandangan yang sangat tidak bersahabat dengan suasana hatiku. Cuacanya sangat cerah. Bahkan matahari pun menyengat.
Sedang asyik-asyiknya aku tiba-tiba sebuah mobil sedan putih masuk ke halaman rumahku. Sepertinya aku sedikit tahu dari nomor polisi mobil itu. Ya! Coach Irwan!
Aku buru-buru masuk ke rumah dan tidak mengenalnya. Tetapi apa daya, tanganku dicegat.
"Dilla tunggu." cegatnya.
"Apa lagi?!" ketusku sambil berusaha melepaskan pegangannya yang sangat kuat.
"Dengerin saya dulu!" pintanya.
"Tapi...lepasin dulu. Sakit...tau!!!" seruku sambil melepaskan pegangannya sekuat mungkin dan akhirnya terlepas.
"Dilla. Saya minta maaf atas perlakuan saya kemarin yang tidak pantas. Saya benar-benar emosi saat itu. Maafkan saya." coach Irwan memasang wajah memelas.
"Lalu dengan nyalahin gue tim lo bisa langsung menang gitu? Jadi yang lo cari cuman kemenangan? Nggak tahu proses susahnya kami kayak gimana? Dan lo anggap gue biang keroknya?! Ha!" aku berkacak lalu meninggalkan dia yang menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance Between Us
Teen FictionOrang yang aku cintai selama 2 tahun mungkin tidak akan selamanya bisa bersamaku. Apakah aku harus tetap mencintainya atau aku harus menikahi orang lain? Dia dan orang itu sama-sama memiliki 'jarak' denganku. Namun berbeda maknanya. Siapakah yang ha...