Part 19 → Jleb Moment

67 3 0
                                    

10 bulan kemudian

Sudah setahun lebih aku menjalani status sebagai mahasiswi di kampusku ini, dan juga sebagai kekasih Ray.

Desember kemarin, aku sempat menelpon Coach Irwan. Dan dia bilang bahwa dia tidak jadi pulang bulan ini. Aku sangat kecewa mendengar kabar tersebut. Dan, hampir saja aku kelepasan menanyakan tentang rencananya yang akan melamarku. Aku sebenarnya senang, tapi itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin menikah dengannya. Terlalu banyak jarak diantara kita. Aku harap dia mencari perempuan yang lebih pantas untuknya. Bukan aku. Aku hanya mencintai Ray dan berusaha serius dengannya.

Nasehat yang pernah diberikan Mas Iky tentang Ray sebagai penyebab berubahnya aku memang benar, tapi kini aku telah berubah. Aku kini tidak terlalu memprioritaskan Ray. Karena aku juga butuh orang lain. Aku sudah minta maaf kepada keluarga dan teman-temanku. Aku juga sudah minta maaf kepada Kak Dylan.

* Flashback On *

"Kak Dylan..." panggilku saat kami kembali bertemu di mall yang sama.

"Mau apa lagi lo kesini?" tanyanya ketus, tak seperti pertama kali kita bertemu waktu itu.

"Kak, Dilla mau minta maaf."

"Buat?"

"Sikap aku yang waktu itu. Aku nggak menghargai perasaannya Tama."

"Tapi Tama udah mati. Udah IS-DET. Jadi percuma."

Aku menarik lengan Kak Dylan, kemudian memberi tatapan serius.

"Sampein maaf aku ke Tama. Aku sayang sama dia. Tapi aku nggak bisa sendiri terus. Temenku disini sedikit, aku udah terpisah sama sahabatku di SMA. Aku juga butuh perhatian, butuh cinta. Aku juga nggak mungkin kalau ngerjain tugas kuliahku sendiri. Aku butuh penyemangat. Dan aku udah percaya sama Ray buat jadi penyemangatku."

Kak Dylan termenung. Ia melepaskan genggamanku, "Oke Dil. Gue ngerti sekarang. Gue nggak akan ikut campur lagi, itu hak lo. Asal lo masih nganggap Tama aja, sama kayak lo masih nganggap Ryan ada pas lo masih sama Tama."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

* Flashback Off *

-O-

Malam ini amat sejuk. Suasana cafe terasa romantis saat alunan musik jazz mewarnai makan malam kami. Aku dan Ray sangat menikmati our candlelight dinner.

Tiba-tiba, Ray menggenggam tanganku, "Dil, kamu serius kan sama aku?"

Aku mengangguk dengan wajah bersungguh. Dia melepaskan genggamannya. Tangannya merogoh sesuatu di belakang tuxedo hitamnya. Lalu mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin. Aku terkejut melihat Ray memperlihatkan itu padaku.

Ray tersenyum hangat, "Ini bagus nggak?"

Aku berdecak kagum, "Bagus banget Ray."

Ray melonggarkan dasinya. Sejenak ia menghela napas. Ekspresi wajahnya berubah. Seperti menyimpan sesuatu. Dan sepertinya ia akan mengutarakannya.

"Dil." panggilnya.

"Iya?" sahutku lembut.

Dia sedikit gugup, "Gini Dil. Aku tahu kamu bakalan nggak nyangka sama apa yang bakal aku bilang ini."

Aku kebingungan, "Maksudnya?"

Mau ngelamar aja kok banyak basa basi ya nggak kayak waktu nembak?

"Sebelumnya aku minta maaf..." ucapannya terputus sejenak. Aku kembali bingung, namun aku berusaha hanya menyimak hingga ia selesai bicara.

"Karena cincin ini bukan buat kamu."

Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang