Part 8 → It's Over

78 5 0
                                    

Hari ini pertandingan kedua sekolahku. Kami masuk ke babak 16 besar. Sekolahku saat ini melawan sekolahnya Alm. Ryan. Aku kembali teringat padanya. Ah sudahlah. Ini hanya akan mengganggu konsentrasiku. Aku harus tetap mengalahkan sekolahnya Ryan.

"Ini pertandingan kedua. Jangan sampai perjalanan kita sampai disini. Sebelumnya saya mau rotasi pemain dulu. Kamu kamu kamu digantikan sama kamu kamu kamu." oceh Coach Irwan.

"Saya nggak diganti coach?" tanyaku saat melihat aku, Bagas, dan Robby tidak di-rotate.

"Nggak, kalian tetap main. Untuk Bagas kamu tetap main karena kamu kaptennya. Kalian mengerti?"

"SIAP COACH!" Seru kami serempak.

Pertandingan pun akan dimulai. Timku dan tim lawan mulai memasuki lapangan indoor. Terdengar riuh suara penonton. Lebih banyak yang meneriaki tim lawan.

Aku memperhatikan mereka satu per satu. Akhirnya sepasang mataku bertemu dengan sosok Tama yang sedang meneriaki timku bersama Dylan. Dia mendadahiku. Aku pun menyahutnya.

Aku berlari menuju bench, melihat ke sudut yang lain. Terlihat sosok perempuan yang familiar di mataku.

Alice! Dia ada disini! Mau apa dia kemari?! Bola mataku tiba-tiba membesar. Perasaanku menjadi tidak enak. Tapi aku yakin, Alice tidak datang bersama Tama dan Dylan. Imposibble!

Wasit pun meniup peluit tanda pertandingan sudah dimulai. Timku sudah menyerang lebih dulu dengan Indah yang melakukan shooting. Kemudian tim lawan balas menyerang namun dribble pemain nomor 21 di-block oleh Bagas. Bagas berniat mengoper kepadaku tetapi aku tidak menerima umpannya. Bodoh! Aku memberi isyarat minta maaf kepada Bagas. Dia hanya menggelengkan kepala.

Menit demi menit kulakukan banyak kesalahan. Hingga akhirnya pertandingan berakhir dan timku kalah. Kami gugur di babak 16 besar. Semua ini salahku.

"WHAT A F**KING GAME!!!" Bentak Coach Irwan di ruang ganti. Aku hanya menunduk.

Coach Irwan menarik lenganku.

"Lo bisa main nggak hah?! Daritadi bikin missing terus! Pemain yang di-rotate aja pada kerja! Holys***!" Bentaknya padaku. Baru kali ini aku mendengar dia mengumpat. Baru kali ini dia mengumpatku.

Sebagai manusia yang berpendidikan bagus, aku tak menyangka bahasanya begitu rendah. Namun aku tak dapat melawan. Semua teman-temanku ikut terdiam.

"Jangan mentang-mentang gue percaya sama lo, lo bisa seenaknya di match!!" dia mendorongku. Semua teman-temanku berdiri. Aku sudah tidak tahan lagi.

"GUA EMANG NGGAK BECUS! TAPI GUA JUGA MANUSIA YANG NGGAK SEMPURNA, YANG PUNYA KESALAHAN. DAN LO SEBAGAI PEMBINA CUMAN BISA NYALAHIN GUA! GUA NGGAK PERLU MAIN LAGI, PERCUMA GUA NGGAK DIBUTUHIN ANJING!!" Bentakku.

Aku meninggalkan ruang ganti bersama tasku.

"Dilla!!"

"Dil lo mau kemana?!"

"Dill!!!"

Terdengar teriakan teman-temanku namun aku tak menyahutnya. Aku sudah cukup sakit hati.

Aku melihat Tama dan Dylan yang menghampiriku. Aku langsung memeluk Tama sambil menangis terisak.

"Kamu kenapa?!" seru Tama kaget.

Aku pun dibawa oleh Tama dan Dylan menuju parkir.

"Lan, lo tenangin Dilla dulu. Gue nyari kunci mobil."

"Nggak papa nih bro?"

"Ya elo masih aja mikirin yang begituan!"

Dylan pun memelukku dan mulai menghiburku. Akhirnya aku berhenti menangis.

Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang