Part 17 → I Can't Choose One

68 4 0
                                    

Hari pertama aku masuk kuliah. Benar-benar berbeda dibandingkan saat aku SMA. Perilaku pun ikut berubah disini. Aku sangat bangga bisa berada disini. Mengikuti jejak papa. Semoga mama pun ikut bangga. Mama, Dilla kangen...

Aku sangat beruntung kembali satu kelas dengan Amy dan Grin. Karena dengan adanya mereka, aku jadi ada teman ngobrol walau nanti aku akan berkenalan dengan yang lain.

Menjadi seorang dokter tidaklah semudah yang kubayangkan. Selain biaya pendidikan yang terlampau lumayan mahal, kita harus melakukan pengabdian atau magang dan itu sampai 1 tahun lamanya. Beruntung aku memiliki papa yang merupakan seorang dokter, aku jadi bisa belajar banyak kepada papa. Dan seandainya Tama masih ada, dia pasti bisa mengajariku. Mumpung dia itu kakak tingkatku. Aku kembali teringat Tama. Ah sudahlah!

-O-

Jam ke-3 dan ke-4 kosong di kelasku. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Mencari-cari buku sumber tentang kedokteran dan khususnya tentang penyakit jantung. Tak lama kemudian aku menemukan buku-buku yang kucari.

Namun saat aku sedang membaca isi buku-buku itu, konsentrasiku buyar karena didatangi seseorang. Kak Ray. Cowok nyebelin itu menghampiriku.

"Hey, ketemu lagi kita." sapanya sok akrab. Aku hanya melirik ke arahnya tanpa menyahut.

"Oh ya, kita belum kenalan banyak nih." lanjutnya. Aku mendelik.

"Buat apa?" tanyaku judes.

Dia bergumam, "Hmm ya buat nambah temen aja. Sekalian bisa belajar bareng kan? Mumpung sejurusan."

"Oh gitu."

"Singkat banget sih." cibirnya.

Aku akhirnya menurunkan kedua tanganku yang memegang buku.

"Aku lagi belajar kak, nyari referensi. Waktu aku nggak banyak." jelasku.

"Ceilehhh gue aja yang udah semester 5 masih santai." ledeknya.

"Itu sih kakak bukan aku." aku meninggalkannya. Tetapi dia mencegatku.

"Ehhh bentar dong."

"Apa lagi sih?" ketusku.

"Minta kontak kamu dong." godanya. Aku tak menjawab, kemudian pergi lagi.

"Nanti pulang bareng ya!" serunya agak pelan. Tidak mungkin di perpustakaan bisa teriak seenaknya.

-O-

Jam kuliah sudah berakhir. Kelasku pun membubarkan diri. Tak terkecuali aku yang memang harus cepat pulang karena letak rumah yang sangat jauh dari kampus. Sebenarnya aku pernah minta izin ke papa untuk tinggal di kost, tetapi papa melarangku karena katanya daerah Jatinangor itu tidak aman.

Benar saja apa yang dikatakan cowok tadi, dia sudah stay dengan mobil sedan hitamnya. Tipe mobilnya mirip sekali dengan Coach Irwan. Aku ingin menghindar, tetapi dia sudah melihatku lebih dulu.

"Mau sekarang nona?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Apanya? Rumah aku jauh dari sini." itu merupakan kalimat penolakan yang sangat halus.

"Terus gue peduli? Ayo masuk." ajaknya setengah memaksa. Aku pun akhirnya menuruti permintaannya.

Sampai di mobil, ia tak hentinya mewawancaraiku.

"Nama panjang kamu siapa sih lupa."

"Ranindya Faradilla, panggil Dilla aja."

"Ehh rumah lo dimana? Masa gue nganterin tapi ga tau mau kemana."

"Di Komplek Melati Indah."

"Ohh tau tau. Pernah kesitu."

"Kakak tinggal dimana?"

Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang