Hari ini hari kepulanganku ke Bandung seusai liburanku dari Gili Trawangan. Pulang dari sana, oleh-olehku berupa dua manusia yaitu Tama dan Kak Dylan. Aku akan selalu merindukan tempat ini.
Di pesawat, aku tidak duduk bersebelahan dengan Tama melainkan dengan Mas Iky. Aku akan dimarahi papa bila aku duduk disampingnya. Dan memang aku sedang tidak ingin disampingnya. Entah mengapa semuanya menjadi berbeda. Ada sesuatu hal yang mengganjal.
Setelah aku kembali bersama Tama, itu tak membuat hatiku menjadi lebih baik. Justru aku merasakan ketidaknyamanan. Padahal baru selang beberapa hari aku tidak bersamanya. Benar kata orang-orang. Yang namanya balikan itu nggak akan seindah sama yang dulu. Perasaanku kepada Tama seakan-akan flat. Apa memang aku sudah tak mencintainya lagi?
Aku melihat ke seberang bangku pesawat, tempat dimana Tama dan Kak Dylan duduk. Semua anggota keluargaku sedang tidur termasuk mereka berdua. Aku menatap wajah Tama lekat-lekat. Dia tidur sangat lelap. Mungkin sedang bermimpi indah. Tak tersadar air mataku jatuh dengan sendirinya.
"Eh?" aku tersadar.
Aku segera menghapus air mataku. Air mata ini mungkin sebagai tanda maafku kepada Tama. Ya, minta maaf karena tak bisa mencintainya lagi.
-O-
Semester 2, itu tandanya sebentar lagi aku akan naik ke kelas XII. Semester ini pula merupakan semester akhir kelas XII dalam menempuh masa-masa Sekolah Menengah Atas dan akan berganti status dari 'siswa' menjadi 'mahasiswa'. Semua anak kelas XII mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menempuh Ujian tingkat Nasional untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari segala kerja keras mereka selama 3 tahun menempuh pendidikan Senior High School. Hal ini membuatku dan Tama menjadi jarang berkomunikasi. Dan tentu saja semakin menyurutkan perasaanku padanya.
Kesibukan Tama yang tak ada habisnya, membuatku kesepian. Walaupun aku (mungkin) tak mencintainya seperti dulu, aku tetap membutuhkan teman. Jarak rumahku dan rumah sahabatku menjadi alasan sulit bertemunya kami. Ya, selalu saja jarak yang menyulitkan.
Suasana sekolah terlihat sepi, karena kelas XII yang mengikuti pelatihan ujian nasional online di SMA negeri lain. Aku pun memutuskan berjalan-jalan sendiri di saat istirahat.
Langkahku menuju kantin terhenti saat seseorang menghalangi jalanku. Ya, coach Irwan lagi.
"Dilla, saya mau ngomong sebentar sama kamu." pintanya.
"Nggak bisa saya mau lewat." tolakku sambil berusaha melewati badan Coach Irwan yang tinggi besar.
"Sebentar saja." pintanya kembali. Aku terus menolak. Begitu sulit untukku memaafkannya walau kejadiannya telah berlalu begitu lama.
"Please Dilla!" kali ini dia sangat memaksa. Akhirnya aku menyerah dan mendengarkan apa yang ingin ia katakan.
"Mau apa?" ketusku tanpa melihat wajahnya.
"Saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya atas perlakuan saya waktu itu..."
"Kan udah pernah ngomong gitu." potongku.
"Tapi kamu belum maafin saya kan? Saya juga tahu kok. Saya mohon kamu maafin saya karena kalo kamu belum maafin saya, saya bakal bawa beban saat saya pergi nanti." ucapan Coach Irwan membuatku teringat akan perkataan Mas Iky.
Aku langsung menoleh ke arahnya.
"Coach beneran mau kuliah di Singapore?"
ups! Aku keceplosan. Seharusnya aku pura-pura tidak tahu!Coach Irwan menatapku aneh, kemudian tersenyum.
"Kamu sudah tahu ternyata. Iya. Saya akan melanjutkan S2 disana. Kebetulan saya ikut tes beasiswa dan lulus." jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance Between Us
JugendliteraturOrang yang aku cintai selama 2 tahun mungkin tidak akan selamanya bisa bersamaku. Apakah aku harus tetap mencintainya atau aku harus menikahi orang lain? Dia dan orang itu sama-sama memiliki 'jarak' denganku. Namun berbeda maknanya. Siapakah yang ha...