Dua hari ini aku tidak bisa tidur dengan tenang. Kantung mataku semakin menebal. Aku berubah menjadi gadis yang menyeramkan. Apalagi ditambah mama yang pergi ke Jakarta untuk satu minggu. Aku yakin, mama pasti mau check up penyakitnya. Walaupun masku terus-terusan mengelak alasan kepergian mama.
"Dil, udah ngerjain PR yang minggu kemaren belom?" tanya Marvin.
"Udah vin." jawabku datar dengan pandangan terus ke depan.
Marvin yang merasa aneh langsung menatapku lekat-lekat.
"Ya Allah dill kenapa lo?!!" seru Marvin.
"I'm ok." jawabku lemas. Aku mengambil sweaterku lalu menjadikannya bantal. Aku pun menidurkan diri.
"Tumben lo tidur. Biasanya ada pelajaran kayak gini pantang banget tidur." ledeknya. Aku tidak menghiraukannya.
"Nanti istirahat ke kantin nggak?"
Aku menggeleng.
"Mau nitip?"
Aku mengangguk.
"Huu dasar lu tetep aja mau kalo ditawarin! Pe'a!" dia menjitak kepalaku.
"Aduh!" aku meringis tetapi tetap tidak menoleh.
Hari ini pelajarannya hanya menggambar bagi yang belum selesai. Sementara aku sudah selesai dari dua minggu yang lalu sehingga sekarang aku bisa sangat santai.
-O-
Tama's POV
"Marpuah!!!" seruku memanggil Marvin.
"Kampret lu kak! Gue Marvin!" Marvin meledak. Aku dan Dylan tertawa geli melihat kelakuannya.
"Dilla mana?" tanyaku.
"Pasti ujung-ujungnya Dilla!" ketusnya.
"Aduh marah-marah aja nih. Minta dibawa ke kamar." celetuk Dylan. Marvin melotot.
"Hehehe ya iyalah masa nyariin lo. Dilla manaaa?" aku mengulang pertanyaanku.
"KAGAK TAU!" suara Marvin hampir menggelegarkan isi kantin.
Tidak.
Aku berlebihan.
Bahkan tidak ada yang mendengar selain aku, Dylan, dan Andien teman Marvin yang daritadi diam saja.
"Masa nggak tahu sih? Kan sebangku!" aku ngotot.
"Emang mau ngapain sih ah? Dia lagi di kelas lagi tidur. Udah jangan diganggu kasian." akhirnya Marvin memecah rasa penasaranku. Namun aku heran. Apa yang terjadi dengan Dilla?
"Dilla kenapa?" tanyaku lagi.
"KAGAK TAU!!" Kali ini dia benar-benar teriak. Seisi kantin pun mengarah kepada kami.
"Tam tadi lo mau kesana kan?" Dylan berusaha untuk pura-pura tidak terlibat dengan kelakuan memalukannya Marvin. Cewek berambut sebahu itu kini hanya bisa menanggung malu.
"Malu-maluin lo. Sukur dia betah sebangku sama lo." ketusku yang kemudian meninggalkan Marvin.
"Heh bro! Mau kemana lo?" Dylan mencegatku. Akhirnya langkahku terhenti.
"Ke kelas Dilla lah!" seruku.
"Beli makan dulu cuk kita udah pesen!!"
Astaga! Aku hampir lupa! Mungkin ini gara-gara rasa khawatirku pada Dilla yang berlebihan. Tapi Dilla kenapa?
Aku dan Dylan pun menyusul ke kelas Dilla. Gedung kelas 11. Begitu menyeramkan untukku. Dimana anak-anak perempuan yang rempong dan caper entah ke aku atau Dylan. Ditambah anak laki-laki yang mulai begajulan mengikuti kami para kelas 12. Tak semua kelas 12 seperti itu. Contohnya di kelasku, 12 IPA 4. Anak-anaknya gaul tapi cerdas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance Between Us
Teen FictionOrang yang aku cintai selama 2 tahun mungkin tidak akan selamanya bisa bersamaku. Apakah aku harus tetap mencintainya atau aku harus menikahi orang lain? Dia dan orang itu sama-sama memiliki 'jarak' denganku. Namun berbeda maknanya. Siapakah yang ha...