Part 13 → Distance 2

64 4 0
                                    

* 6 bulan kemudian *

Hari itu tiba. Hari dimana awal perpisahanku dengan Tama. Tama sekarang sudah tidak satu sekolah denganku lagi. Dia sudah mengganti statusnya menjadi seorang mahasiswa. Aku sangat bahagia melihat ia diterima di UGM melalui jalur undangan. Tapi disisi lain aku merasakan kesedihan. Itu sekaligus menjadi tanda bahwa Tama akan pindah ke Yogyakarta. Aku tak bisa menyalahkan pilihannya. Ia tidak harus memilih Universitas yang dekat agar tidak berpisah denganku. Aku akan menghalangi masa depannya. Namun, dengan kepergian Tama ini malah akan memberatkanku. Apakah aku mencintainya lagi?

Aku benci dengan perasaanku yang begitu labil! Mengapa disaat dia akan pergi perasaanku malah bertambah? Mengapa tidak dari dulu saja agar tak ada nama Coach Irwan di hidupku!

Aku mengantarkan Tama dan Bunda ke airport. Ya, Bunda ikut dengan Tama. Salah satu alasan Tama pindah ke Yogyakarta karena memiliki rumah dan saudara disana. Bunda juga memiliki cabang usaha kuenya disana sehingga Bunda dapat menjalankan usahanya di Yogyakarta. Sementara rumah mereka sekarang yang ada di Bandung disewakan sementara.

"Dil..." panggilnya. Sejak turun dari mobil kami tak berbincang apa-apa.

"Iya?" sahutku.

"Aku pamit ya..."

Seketika pelupuk mataku mulai bekerja dan mengeluarkan air mata. Tama tak tega melihatku. Dia menggenggam tanganku erat.

"Kamu jangan nangis. Kalau kamu nangis, langkahku akan terasa berat nanti. Ikhlasin kepergianku ya. Kita buat komitmen untuk saling menjaga. Menjaga apapun itu. Mulai dari kejujuran, kepercayaan satu sama lain, dan lain-lain." dia mengulurkan kelingkingnya. Aku pun ikut mengulurkan kelingkingku dan mengikatkan dengan kelingkingnya.

Bunda menghampiriku dan memelukku.

"Jaga diri kamu disini ya sayang. Bunda bakal kangennnn banget sama anak Bunda ini. Belajar yang bener biar bisa masuk jalur undangan juga. Biar bisa satu kampus sama mas kalo kamu mau. Kalo kamu kangen Bunda kamu bisa telepon Bunda kapanpun. Bunda juga bisa kirimin kue Bunda lewat pos. Jangan pernah lupa buat hubungin Bunda ya sayang." pinta Bunda sambil mengusap kepalaku. Aku hanya bisa mengangguk karena tak kuat menahan kesedihanku.

Kemudian kami berhenti berpelukan. Aku dan Tama saling bertatap. Tak lama dia langsung memelukku. Mungkin ini pelukan terakhirnya untukku. Air mataku semakin menjadi.

"Aku nggak peduli walau jarak misahin kita, aku bakal sayang terus sama kamu. Jagain hati aku terus ya." dia mengarahkan tanganku ke dadanya.

Aku membelai wajahnya dengan lembut. Terlihat matanya berkaca-kaca. Seakan menahan tangisnya. Tak seperti aku yang wajahnya sudah basah penuh air mata. Dia juga membelai wajahku untuk mengusap air mataku.

"Aku bakal jagain hati kamu." ucapku dengan nada merintih. Kami pun kembali berpelukan.

Akhirnya pesawat mereka tiba. Mereka berjalan perlahan meninggalkanku sembari terus melambaikan tangan. Aku membalas lambaian mereka sambil mengelap air mataku yang terus jatuh. Sampai akhirnya mereka sudah tak terlihat. Aku pun pergi meninggalkan airport dan mengemudikan mobilku dengan cepat.

-O-

Pagi ini tak secerah pagi yang dulu. Biasanya setiap pagi selalu ada yang greetku lewat video callnya, yang menampakkan wajah sexynya. Wajah sexy yang penuh belek dan mata panda. Yang kadang selalu datang lebih pagi untuk menjemputku. Oh Tam, baru sehari saja aku sudah merindukanmu!

Hari ini aku menggantikan peran Tama sebagai murid kelas XII. Aku juga menempati kelas yang sama dengannya. Hal ini semakin membuatku merindukan akan sosoknya.

Aku hanya termenung di kelas. Aku masih satu kelas bersama teman-temanku yang dulu. Dan kembali sebangku bersama Marvin.

"Dil... udah dong jangan ngelamun terus. Masih ada gue, Andien, sama yang lain. Lo kan bisa kangen-kangenan lewat skype, snapchat, banyak lah." hiburnya.

Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang