Hari ini aku kembali mengantarkan Coach Irwan ke airport. Coach Irwan terpaksa harus kembali ke Indonesia padahal sebulan yang lalu ia sudah pulang lagi ke Singapore. Namun ternyata ia kembali dipanggil kepolisian sebagai saksi. Saat ia pulang sebulan yang lalu, kami tak sempat berbicara karena keadaan saat itu. Kali ini aku ditemani papa dan Mas Iky. Namun sebelumnya, Coach Irwan mengajakku berbicara sebentar di ruang tunggu, sementara papa dan Mas Iky mencari makan.
"Coach eh Mas. Aku mau nanya sebelumnya, kenapa waktu itu bisa dateng ke tempat penculikan aku?" tanyaku. Aku baru ingat kalau dia nggak mau dipanggil coach lagi.
"Jadi waktu itu pas banget saya pulang. Saya dari bandara langsung ke rumah kamu karena punya firasat nggak enak. Nah ternyata emang bener. Saya nemu tab kamu tergeletak gitu terus pas dibuka langsung ada note. Yaudah saya langsung ngehubungin polisi." jelasnya. Aku mengangguk.
Eh, tunggu-tunggu. Kenapa dia bisa punya firasat kayak gitu? Tiba-tiba aja aku teringat..
SAYA SAYANG KAMU DIL
SAYA SAYANG KAMU DIL
Ah! Apaan sih? Nggak mungkin lah. Nggak nyambung banget. Lagian aku masih belum bisa lupain Tama. Hmmm.. Dia lagi ngapain ya?
"Makasih ya coach. Ehhh Mas! Kalo nggak ada mas nggak tahu deh nasib aku gimana nanti." ucapku yang terus salah.
Dia tertawa, membuatku kebingungan.
"Yaudah yaudah. Kalo kamu emang nggak bisa manggil saya yang lain, panggil coach lagi aja." ujarnya. Aku nyengir malu. Tak lama kemudian papa dan Mas Iky datang.
"Nak Irwan, makasih banyak ya. Berkat nak Irwan anak saya selamat. Saya jadi menyesal meninggalkannya sendirian. Tapi kalau dia ikut ke Jakarta, saya takut konsentrasinya berkurang." ucap Papa.
"Sama-sama om. Itu juga kebetulan kok." sahut coach Irwan. Tak lama kemudian, Coach Irwan pamit karena pesawat akan take-off. Kami melambaikan tangan kepadanya. Lalu kami pun meninggalkan bandara.
-O-
Di perjalanan pulang, aku, papa, dan Mas Iky saling bercengkrama sambil mendengarkan musik.
"Cie ciee ada yang perpisahan nih yeee..." ledek Mas Iky tiba-tiba.
Aku yang tak sadar itu tak menyahut.
"DIL!" seru Mas Iky.
"Eh eh, apa mas?" tanyaku kaget.
"Lah kagak denger dia." ketusnya.
"Kan lagi mikirin coachnya mas." cibir papa.
"Ih papa apaan sih?!" rengutku kesal.
"Tuh leh, papa juga setuju, ya nggak pa?" Mas Iky merasa puas.
"Kalo papa mah gimana anak papa aja sihh. Kuliah dulu aja sampe selesai."
"Tuh denger mas! Aku kuliah dulu!" aku mencari pembelaan.
"Ya tapi habis itu married sama dia leh." kemudian mas Iky tertawa puas. Aku hanya merengut kesal.
Papa setuju aku sama dia? Hubungan kita emang apaan? Nggak ada! Udah setuju setuju aja.
-O-
Alhamdulillah! Aku senang sekali! Aku sangat senang! Akhirnya aku diterima di Kedokteran UNPAD lewat jalur undangan. Aku akhirnya bisa mengikuti jejak papa menjadi seorang dokter.
Tapi kebahagiaan itu langsung surut saat aku teringat almarhum Tama. Jika saja dia masih hidup, kami pasti akan menjadi keluarga dokter. Itu merupakan mimpi terbesarku. Menjadi dokter dan menikah dengan seorang dokter. Saling menjaga, merawat, melindungi. Tapi apa daya, aku tak bisa menyalahkan takdir Tuhan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Distance Between Us
Teen FictionOrang yang aku cintai selama 2 tahun mungkin tidak akan selamanya bisa bersamaku. Apakah aku harus tetap mencintainya atau aku harus menikahi orang lain? Dia dan orang itu sama-sama memiliki 'jarak' denganku. Namun berbeda maknanya. Siapakah yang ha...