2. Tteokbokki

236 46 54
                                    

Malam ini, Namjoon pulang bekerja agak lebih lama dari yang biasa. Biasanya, Namjoon sampai di apartemen tidak lebih dari pukul enam lewat tiga puluh menit, petang hari. Kali ini, ia pulang tepat di jam delapan malam. Terkadang, ia bisa pulang tidak tepat waktu apabila Seokjin;sahabat sehati sejiwanya akan mengajak ke suatu tempat.

Hanya seputar memberikan informasi terbaru tentang diri mereka masing-masing. Apa lagi Namjoon, kedatangan Liany--adik baru yang sekarang tinggal bersamanya-- adalah info yang  harus ia beritahu terhadap Seokjin.

"Enak sekali kau, tidak ada niatan mau dikenalkan padaku?" Seru sekali dirasa Seokjin, membercandai sahabatnya sedari tadi. Ia tak henti menggoda Namjoon,  sekarang sang karib sudah tak solo lagi.

Maklum, otak Jin memang agak tak beres. Padahal, Liany dan Namjoon itu masih ada ikatan saudara walaupun jauh, bagaimana sih, isi pikirannya Seokjin ini.

"Ah tak mau lah, aku saja baru mengenalinya."

Lalu mereka tertawa keras sehingga mendapat peringatan oleh pelanggan lain yang ada disana.

****

Namjoon telah berada di sekitar meja makan. Ia meletakkan tteokbokki yang sempat dibeli di pinggir jalan setengah jam lalu, karena mengingat bahwa sekarang ia tak tinggal sendiri lagi, Namjoon berinisiatif membelikan sesuatu sebagai buah tangan untuk Liany. Matanya meliar mencari-cari perawakan gadis itu. Langkahnya memasuki ruang tamu, namun pria Go tak melihat siapapun disana.

Setelahnya, mencoba mengetuk pintu kamar Liany. Merasa tak ada jawaban, ia membuka kamar dan mendapati kamar tersebut kosong. Ranjangnya dingin. Kemana gadis itu? Tidak tahu kenapa, perasaan khawatir merayapi hati Namjoon. Mungkin sebab gadis itu telah tinggal bersamanya, Namjoon merasa harus bertanggung jawab sebagai yang tertua disini.

Langkah lebar pria Go membawanya ke arah pintu utama. Yang ada di pikirannya saat ini adalah harus cepat mencari Liany. Terburu-buru kembali ke tempat semula untuk meraih kunci mobil. Ketika ia membuka pintu utama, ternyata gadis yang di carinya berada tepat di hadapan pintu dan hendak menekan angka password apartemennya.

"Ya ampun, kau dari mana saja, Liany?"

Raut Liany menatap penuh heran, ia  hanya pergi sebentar ke minimarket sekitar untuk membeli kebutuhan 'wanita'.

"Tadi aku membeli sesuatu di minimarket,  Kak." Jawab Liany sambil menunjukkan kantung plastik yang ia bawa.

Namjoon berdehem singkat, sedikit canggung. Pasti rasa khawatirnya sangat kentara sekali. Memalukan. Berikan Namjoon tutorial agar bisa bersikap biasa saja. Maklum, baru pertama kali ada manusia yang tinggal di apartemen ini selain dia.

"Oh, lain kali beritahu dulu. A-aku membelikanmu tteokbokki, ada di meja makan. Makanlah selagi masih hangat."

Liany menuruti perintah Namjoon. Manik indahnya mengikuti kemana pria itu melangkah. Sedikit merasa kecewa sebab Namjoon malah menuju kamar. Apa mungkin tak mau makan bersama?

"Kak!" Tak mau makan sendiri, Liany mendatangi Namjoon yang hendak menutup pintu kamar.

"Ya?" Namjoon berhenti dan menoleh.

"Ayo makan tteok-nya bersama." Ajak Liany sambil menarik pergelangan Namjoon.

Demi apapun, sentuhan di bagian lengan itu membuat jantung Namjoon bagaikan tersengat listrik. Pria itu tak mengerti dengan dirinya sendiri. Efek terlalu lama sendiri mungkin.

Sebenarnya, Namjoon itu sudah sangat kenyang sekali. Toh, ia sudah makan malam bersama Seokjin sebelum ini. Tetapi, ia tidak dapat berbuat tega pula untuk menolak ajakan gadis yang wajahnya sudah seperti memohon lucu padanya.

Maka, berakhirlah mereka berdua makan tteokbokki pedas bersama dengan penuh keheningan. Sudah sangat pas sekali, yang satu pendiam yang satunya lagi canggung. Maka terjadi lah hening cipta.

Selesai makan, Namjoon membawa peralatan makan kotor ke wastafel untuk dicuci. Tak mau dicap pemalas, Liany beranjak untuk membantu Namjoon. Pria itu membiarkan Liany membantunya, memberikan senyuman termanis untuk si gadis sampai kedua lubang di pipinya muncul begitu saja. Liany yang melihat senyuman itu tersipu dan sedikit merona, ditambah dengan kulit tangan mereka yang kini mulai bersinggungan.

Di mata Liany, itu adalah adegan yang sangat manis untuk sepasang kekasih. Tapi sayang, mereka bukanlah sepasang. Melainkan Liany hanya menumpang hidup pada Namjoon, maka sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak berharap lebih pada pria yang sudah menolongnya.

Namun, saat keduanya tengah asik melamunkan hidup sambil membilas peralatan makan, tiba-tiba saja listrik padam membuat Liany terkejut dan memekik, tanpa sengaja reflek memeluk Namjoon yang berada di sampingnya. Sungguh ini tidak disengaja, Liany berbuat demikian sebab gemetar ketakutan merambati inci tubuhnya.

"Tidak apa-apa, Liany. Hanya mati lampu, tidak terjadi apapun yang menakutkan. Tenang, tarik napas .."

Jika boleh jujur, sebenarnya Namjoon juga terkejut. Apalagi secara tiba-tiba Liany berjengit memeluknya. Tangannya juga ikut reflek mencengkram kuat pinggang ramping Liany. Tak lama kemudian, Namjoon memberikan tepukan menenangkan di punggung kecil itu. Sendirinya bahkan juga sempat takut, tapi malah lebih mendahulukan ketenangan orang lain.

"Aku takut." Liany tak main-main dengan takut kegelapan. Itu adalah bagian dari trauma masa kecilnya. Peluh telah bermunculan di dahi Liany. Kalau ada orang yang melihat lalu mengatainya sebagai gadis lemah, itu karena orang-orang belum merasakan bagaimana menjadi Liany di masa lalu. Untungnya, Namjoon tidak suka sembarangan menilai orang seperti itu.

"Ayo, kita ke kamarmu saja."

Biasanya, jika gelap gulita begini, ada cahaya bulan masuk dari kaca pembatas yang terdapat dalam kamar Liany. Menjadikan ruang tidak terlalu gelap sebab masih ada pencahayaan yang masuk ke dalam sana.

Setelah perlahan masuk kamar dengan dituntun Namjoon, Liany baru bisa sedikit bernapas lega.

Pria itu melihat sebagian kota gelap dari atas balkon kamar. Sepertinya, mati lampu kali ini akan memakan waktu sedikit lama karena ada perbaikan listrik.

"Tidurlah, aku akan menemanimu disini." Kata Namjoon pelan sekali.

Bukannya mengapa, Liany hanya takut ditinggalkan saat ia sudah terlelap. Ia mencoba dan berusaha keras untuk menutup mata.

Tak berselang lama kemudian, di bawah sinar bulan yang menembus kaca pembatas, Namjoon bisa melihat dengan jelas betapa ayu wajah Liany. Tercetak jelas bahwa gadis ini adalah keturunan orang asia. Beda cerita jika gadis itu membuka kedua matanya, orang-orang akan mengerti bahwa Liany adalah keturunan campuran ketika mata indah itu telah terbuka sempurna. Pemilik mata Ocean eye. Kecantikan yang unik sekali, Namjoon mengakuinya.

Namun, setiap kali Namjoon melihat Liany, entah mengapa ia merasa ingin merengkuh gadis itu dengan dalam. Gadis yang tak memiliki marga Korea itu seperti banyak sekali menanggung beban di pundaknya. Jiwa-jiwa tak tega dalam diri Namjoon menguar begitu saja. Andai saja bisa, ia ingin mengambil sebagian beban itu. Pria Go berharap agar Liany bersedia membagikan beban itu pada Namjoon, apapun itu alasannya.

Namjoon menatapi gadis yang tampaknya sudah terlelap. Diri sendiri juga kian mengantuk. Atas inisiatif, tubuhnya ikut berbaring di samping Liany sambil melingkari sebelah tangan di atas perut sang gadis. Dengan kesadaran penuh mengeratkan pelukan, juga menyerukkan ujung hidungnya ke perpotongan leher Liany.

Sementara Liany. Ia belum tertidur sama sekali. Ia tahu jikalau sedari tadi Namjoon sedang menatapinya kelewat sendu. Dalam ketegangannya, tentu Liany tak bisa berbuat apa-apa ketika Namjoon menyamankan posisi tidur sambil memeluk erat dirinya. Dadanya berdentum-dentum, merasa sangat gerah sekarang.

****


NEOPHYTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang