11. Jadi Cacat Aja Dulu Sana!

20.4K 2.3K 67
                                    

Waktu begitu cepat berlalu. Sembilan bulan dilewati tanpa terasa. Siang itu seperti biasanya, rumah sepi, hanya ada Seni sendiri. Arayi tidak pulang lagi, sudah tiga hari. Rasanya Seni sudah lelah menangis. Kehamilannya benar-benar seolah tak diinginkan oleh Arayi.

Menatap kalender, sudah menjelang detik-detik melahirkan kalau sesuai dengan perkiraan dokter.

"Sabar ya, Nak." Seni berusaha tersenyum sambil mengemas barang-barang yang dibutuhkan. Siap-siap kalau sudah waktunya berangkat ke rumah sakit. Sudah dua bulan sejak ia menyerah mengiba perhatian kepada Arayi.

Semua-semuanya ia lakukan sendiri.

Kebanyakan perlengkapan bayi pun ia beli secara mandiri. Terkadang ditemani Kamila dan Melati yang begitu berbahagia menyambut kelahiran cucu pertama. Pernah ia ingin tinggal dengan Melati di rumah Kamila, tapi entah kenapa Kamila selalu melarang. Memaksanya agar tetap berada di sisi Arayi. Seni bahkan tak tega menceritakan bahwa Arayi sendiri justru lebih sering meninggalkannya sendirian.

Seni takut.

Seni takut jika ia mengadu kepada Kamila, Arayi akan semakin membenci dia dan jabang bayinya. Jadi segala lara dan perih yang ia lalui, Seni pendam sendiri. Sekuat tenaga. Sekuat yang ia bisa.

"Mas, Mas pulang, ya? Temani aku berangkat ke rumah sakit." Seni memberanikan diri menelepon Arayi siang itu.

"Ngapain?"

"Kok ngapain?" Seni mengepalkan tangan dengan kuat. Matanya kini bahkan berkaca-kaca. Air matanya seolah ingin turun begitu dahsyat. "Aku udah mau melahirkan, Mas. Apa Mas nggak pengen pulang nemenin aku, Mas?"

"Mas sibuk, Ni. Kerjaan nggak bisa ditinggal lho."

Seni menganggukkan kepala bersamaan dengan air matanya yang menetes begitu saja. "Sibuk, ya?"

Arayi tak menjawab. Padahal pria itu di seberang sana juga merasakan gundah dan dilemma yang begitu besar. Sejujurnya ia pun mengkhawatirkan Seni. Namun sebab suatu hal, ia merasa harus benar-benar membangun jurang yang dalam di antara dirinya dan Seni.

"Mas, aku hamil anak Mas. Nggak kok, aku lagi nggak maksa Mas pulang." Seni menghapus air matanya dengan kasar, lalu berusaha tersenyum dengan begitu hampa. "Aku cuma mau bilang, seandainya aku dan anak aku emang nggak Mas harapkan kedatangannya, seandainya aku dan anak aku selamat setelah proses melahirkan nanti, setelah anak ini lahir, kalau Mas mau talak aku, aku nggak papa."

"Seni!"

"Nggak usah khawatir, Mas nggak usah panik. Aku bisa ngelewatin ini semua sendiri kok. Mas yang fokus aja ya kerjanya. Aku cuma pesan satu hal, tolong jangan bikin aku kesulitan lebih lama dari ini, ya."

Seni menutup teleponnya sepihak, meski ia mendengar Arayi masih ingin melontarkan jawaban. Gadis muda itu menelungkupkan wajah. Menangis tersedu-sedu. Tak percaya bahwa ia baru saja meminta untuk diceraikan. Entah ini masalah sepele atau bukan, yang jelas Seni rasanya sudah tidak kuat.

Perlahan Seni berdiri, mengambil tas berisi perlengkapan bayi, dan membawanya turun ke lantai utama. Biarlah ia melalui semuanya sendirian. Tak akan mati ia hanya karena menyendiri.

Bayi yang diprediksi berjenis kelamin laki-laki itu memberi reaksi. Menendang sekali dua kali, membuat Seni mengernyit. Tak paham entah ia sedang sakit hati, atau memang ada sakit-sakit yang lainnya.

Pintu rumah ia kunci. Bahkan kuncinya ia lempar. Tak peduli hilang dan ia tak bisa masuk lagi. Toh, Seni memang sudah tak ingin pulang ke rumah itu.

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang