28. Morning Glory

23.9K 2.7K 142
                                    

"Alsha merasa menjadi pihak yang patut disalahkan atas kejadian yang menimpa Bhara. Sejak hari itu juga mas mulai nyari kamu. Mas bayar detektif, mas bayar sana sini demi bisa bawa pulang kamu. Kami hidup dengan penyesalan masing-masing. Sampai akhirnya, mas dan Alsha memutuskan pisah setahun sejak vonis tuli Bhara dijatuhkan. Kami merasa nggak bisa sejalan lagi sebagai suami istri. Terus bersama juga percuma. Kamu mau tahu apa yang sebenarnya mas rasain dulu, Ni?"

Arayi tersenyum kecil. Tubuhnya tiba-tiba bergerak maju, lalu merengkuh tubuh Seni. Arayi meletakkan kepalanya di pundak mungil sang istri dan mulai mengakui rasa yang seharusnya ia ungkapkan sejak lama.

"Dulu, tadinya mas yakin kalau mas cuma cinta sama Alsha. Nggak akan ada perempuan lain selain dia. Sampai akhirnya dia divonis mandul dan mama tahu. Mama minta mas nikah lagi. Tapi mas nolak karena nggak mau nyakitin Alsha. Pertama kali kita ketemu di butik, entah kenapa mas ngerasa permintaan mama mungkin tidak seberat itu. Entah kenapa, mas mulai mempertimbangkan permintaan mama untuk nikah lagi.

"Seni, mas jatuh cinta sama kamu sejak dulu."

Seni terkekeh. Meski risih karena dipeluk Arayi, tapi dia memutuskan untuk diam saja dan mendengar semuanya. "Cinta cinta omong kosong."

"Bener. Demi Tuhan. Mas hanya terjebak di prinsip yang mas buat sendiri. Mas ngerasa harus setia sama Alsha. Tanpa sadar mas juga mulai nyaman sama kamu. Tapi mas takut untuk mengakui itu. Mas takut Alsha ninggalin mas dan menganggap mas pecundang. Jadi, sekuat tenaga mas jaga jarak sama kamu meski kita udah berkeluarga, Seni. Karena mas pikir mas kuat dan nggak akan pernah berbagi hati. Sampai ada Bhara, mas masih aja nutupin semua perasaan mas ke Mama lewat keegoisan itu. Padahal saat itu, mas justru malah nyakitin kamu dan Alsha. Maaf, Ni. Maafin mas sekali lagi."

"Makan tuh prinsip!" Seni terkekeh miris. Tapi tangannya justru bergerak mengusap pipi Arayi dengan gemas.

Arayi tersenyum. Mengambil tangan Seni, dan menggenggamnya dengan erat.

"Perceraianku sama Alsha adalah jalan yang terbaik. Kalau kamu mikir kami belum kelar sampai sekarang kamu salah. Alsha tetap ada di sekitar Bhara, karena dia merasa dia lah yang bertanggung jawab terhadap apa yang Bhara alami. Mas nggak bisa larang. Kata Alsha, dia terlanjur sayang sama Bhara dan dia akan terus jagain Bhara meski mas dan dia udah nggak sama-sama lagi. Alsha juga memutuskan untuk nemenin masa tua mama. Dia itu yatim piatu, Ni. Jadi katanya, merawat mama adalah bentuk bakti untuk ibunya sendiri. Selain itu, Alsha juga ingin membuka mata mama kalau dia nggak seburuk itu. Takdirnya mungkin iya, tapi Alsha nggak buruk. Jadi, Ni, tolong, jangan sakitin Alsha, ya."

Seni menghela napas. Akhirnya kini dia paham kenapa Alsha masih terus bertahan meski sudah bercerai dengan Arayi. Agak sedikit menyesal juga kenapa ia bisa sesarkas malam kemarin.

Namun sesungguhnya, Seni peduli dengan Alsha. Terlepas dari cerita masa lalu mereka, Seni hanya ingin semua wanita punya kesempatan yang sama untuk berbahagia. Jika Alsha terus mengorbankan diri dengan tinggal di tempat yang membuat hatinya terluka, mau sampai kapan ia akan seperti itu?

Seni mencibir dan menghina, tak semata-mata ingin Alsha enyah. Ia hanya ingin Alsha juga seberani dia dalam mengambil keputusan untuk menjalani hidup. Mengambil risiko, kadang tidak semenakutkan itu.

"Kasihan banget. Lagian kenapa juga harus dicerai? Dulu dipoligami aja mau. Lagian aneh banget, udah dicerai tapi masih sering ketemu. Sama aja poligaminya berasa lanjut nggak, sih?"

"Ya nggak lah. Istri mas sekarang cuma kamu kok, Ni." Arayi terkekeh, lalu menyamankan kepalanya di pundak Seni sekali lagi.

"Tapi tetep peduli sama Alsha?"

"Peduli karena dia sekarang jadi saudaraku, Ni." Rengekan Arayi terdengar begitu pasrah.

"Tapi lo nggak lupa kan, Mas, kalau gue nggak sepolos dulu? Mungkin emang sekarang lo cuma cinta sama gue. Tapi kalau keadaannya terbalik, gue ada di samping lo tapi lo bukan satu-satunya, gimana?"

Arayi mendengkus. Lalu menegakkan tubuh dan menatap Seni dengan sedikit kecewa. "Mas terima kamu dengan segala risikonya. Mas anggap ini hukuman atas kesalahanku yang dulu, Ni."

"Sekalipun nanti lo lihat gue sama pacar gue making love di kasur?"

"Nggak bisa sejauh itu. Kamu boleh punya banyak pacar, tapi kalau urusan kasur, cuma boleh sama mas."

Seni tergelak. "Ya nggak bisa lah. Enak aja, rugi bandar."

Arayi diam-diam senang. Pagi ini komunikasinya dengan Seni terasa begitu lancar meski bahan perbincangannya begitu menyakitkan. "Jangan sampai lho, Ni, kamu sakit. Cukup Bhara aja yang pakai hearing aids. Kamu jangan kebanyakan pacar, takut-takut nanti kena HIV Aids."

"Bangke lo, ya!" Seni beranjak dengan kesal. Lalu melempar roti ke muka Arayi yang tertawa gemas.

***

Kabar kembalinya Seni ke tanah air sudah tercium media. Netizen juga sudah mulai ramai menyorot. Tahu sendiri, warga +62 tingkat kekepoannya lebih ganas daripada simba. Sosial media Seni banjir komentar. Menanyakan Seni di mana, dalam rangka apa pulangnya, juga tawaran endorsement yang membludak.

Seni memegang kepala melihat isi DM-nya. Dalam kondisi seperti ini, dia sangat-sangat membutuhkan Alvela dan Belia. Duit nih duit, tapi kalau dia handle semuanya sendirian, yang ada malah keteteran.

Seni menggeleng. Berusaha rileks. Jadi famous memang agak memusingkan, tapi kalau ingat kucuran uang yang akan menggendutkan rekeningnya, tentu ia bahagia.

Rambutnya ia gerai segera. Lalu berjalan ke taman belakang tepat di depan tembok yang dirambati oleh bunga morning glory. Pas sekali, matahari juga sedang cerah-cerahnya. Vibes-nya jadi mirip bule yang baru bangun tidur.

Tangan Seni terangkat. Lalu mengambil beberapa selfie dengan gaya dan ekspresi yang berbeda-beda.

Sampai akhirnya ia melihat Bhara yang sedang sibuk sekolah daring di gazebo dekat kolam renang. "Bhar! Bhar!" Seni melambaikan tangan. Lalu tersenyum saat Bhara mendengar dan mengangkat wajahnya.

"Sini dong, tolongin!"

Bhara menyelesaikan tugasnya sebentar, menutup laptop, dan berjalan mendekati Seni dengan ragu. Sudah 2 hari sejak kejadian di kolam renang, Seni sudah tahu kalau sekarang ia adalah penyandang tuna rungu. Bhara jadi minder, takut Seni semakin menjadi-jadi dalam membenci.

"Ada apa, Ma?"

"Lesu amat sih perasaan?" Seni mencebik sambil mendorong pelan bahu Bhara. "Bisa fotoin mama nggak?"

Bhara yang sedari tadi menunduk kini mengangkat wajah. Sedikit sangsi dengan apa yang ia dengar. Seni memanggil dirinya sendiri mama? Di depan Bhara?

"Aku nggak salah dengar?"

"Emang kamu bisa dengar?" Seni terkekeh menggoda.

"Nggak itu, Mama panggil diri sendiri mama di depan aku?"

"Wah, tulinya tingkat dewa emang nih!"

***See You Tomorrow***
Day 28

Btw akhirnya ada teman yang merasa Arayi itu korbannya si emak dan si istri pertama lho. Wakakaka, aku senang kalau ada kubu-kubuan gini. Yang kubu 1 hater Arayi sampai ke tulang2, yang 1 lagi kubu pro Arayi.

Kalau kamu kubu yang mana?

EDIT NOTE: Karena hari ini aku repost dua bab, bonus bloopersnya kapan2 yaaa hihiihi

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang