"Oh, Kid! You such a troublemaker!" Seni mengerang kesal. Wanita yang pagi itu dengan pede menggunakan bikini di kolam renang rumah Arayi menggerakkan tangan. Seolah ingin mencakar wajah Bhara.
"Mama udah selesai kan berenangnya? Makanya aku anterin sarapan. Aku yang bikin nih, Ma." Bhara tersenyum sampai memperlihatkan gigi-giginya yang berjejer rapi. Sejenak Seni terdiam, mengelana kenangan sejauh yang ia bisa. Benarkah ini Bhara? Bayi yang ia lahirkan 14 tahun yang lalu dalam keadaan miskin cinta?
Anak itu meski kurus tapi sangat tampan dan bersih. Kulitnya putih. Rambutnya agak gondrong hingga melebihi telinga. Tubuhnya juga tinggi. Bongsor sekali Bhara ini.
"Ada eye boogers tuh! Jorok!" Seni menunjuk mata kiri Bhara. Ada belek di sana.
Bhara yang merasa tampan setiap saat segera meletakkan piring di meja dekat lazy chair. Lalu mengusap mata kirinya dan benar ada belek di sana. Aduh, Bhara kena mental!
"Padahal tadi udah mandi. Udah ngaca juga. Kok bisa ada belek ketinggalan, ya?"
"Makanya potong rambut. Anak SMP rambutnya gondrong ngelewatin mata sama telinga. Fungsi Arayi sebagai bapakmu itu apa, sih? Ngurusin rambut anak aja nggak becus." Seni mencebik lalu mengenakan bathrobe dan duduk di lazy chair. Perlahan tangannya mencomot sarapan hasil tangan Bhara. Kelihatannya sih enak.
"Papa nggak salah. I am the one who choose this. Sekolahan aku ngebolehin gaya rambut bebas buat anak-anak yang pinter. Nah, aku kan pinter banget. Masuk 3 besar terus. Mama sih nggak tahu."
Seni mendengkus. Dia jadi penasaran. Bhara kok tidak canggung kepadanya, ya? Bukannya dulu sebelum pergi, ia sudah wanti-wanti kepada Arayi dan Alsha untuk menghapus dirinya dari ingatan Bhara?
Apakah mereka gagal branding?
"Gimana, Ma? Enak nggak toast-nya?"
"Ya so-so lah." Tak mungkin Seni jawab, iya enak banget. Bisa makin besar kepala itu anak. "Kamu nggak berenang? Katanya rajin olahraga. Halah, omong doang."
"Kalau berenang agak males, Ma. Bhara nanti nggak denger apa-apa." Kali ini, Bhara tak sesemangat tadi. Tepat saat itu Arayi datang, berniat bergabung dengan anak dan istrinya. Bercengkerama di kala pagi. Sebelum ia disibukkan lagi oleh masalah pekerjaan beberapa hari ke depan.
"Lagi pada ngapain nih? Ngumpul nggak ajak-ajak papa." Arayi tampan sekali pagi itu. Seni yang menoleh tadi sempat terpana sekilas.
Meski tak ada debar di dada, tapi memang Arayi itu juara kalau memanjakan mata. Sejak pertemuan pertama di Belanda, pria itu terlihat semakin rapi dan mapan saja. Celana panjang dan kaos kaki yang tak pernah ketinggalan meski sedang di rumah. Rambut yang rapi terus sepanjang masa.
Benar-benar suami idaman yang menutup aurat.
"I told him to swim." Seni meletakkan sisa toast-nya. "Malah alibi kalau renang nanti nggak denger apa-apa. Makanya tuh, Mas. Lo kasih tahu lah anak lo buat jangan keseringan pakai airpods. Budeg kan tuh jadinya."
Mendengar Seni berbicara seperti itu, Bhara menundukkan kepalanya. Terlihat sedih, ingin marah tapi hati tak sampai. Jadi anak itu memilih untuk menyingkap rambut ala harajuku-nya. Melepas benda yang melekat di telinga lalu meletakkannya di depan Seni.
"Bukan airpods lho itu, Ma," kata Bhara lirih. Anak itu lantas menoleh kepada Arayi dan bergumam, "Papa aja yang kasih tahu mama. Aku mau ke kamar. Habis ini mama pasti malu punya anak kayak aku."
Seni melongo. Drama lagi drama lagi, pikirnya.
Setelah Bhara pergi, kini tinggallah Arayi di sana. Pria itu lantas memungut benda yang ditinggal Bhara. Melihatnya dengan perih, lalu memutuskan untuk duduk di samping Seni. "Ini bukan airpods, Ma."
Ya, Mama. Arayi dan Bhara semalam sepakat untuk kompak memanggil Seni mama.
"Ini hearing aids."
Seni menoleh menatap Arayi seketika. Hearing aids Arayi bilang? "Oh, please. Nggak lucu."
Arayi berdeham pelan. Balas menatap Seni dengan sendu. "Mas nggak lagi ngelucu. Bener ini hearing aids. Bhara anak kita memang udah nggak sesempurna dulu."
Tanpa sadar, Seni menggeram. Mengepalkan tangan. "Kenapa dia? Dulu dia bisa denger. Dia nggak terlahir tuli. Lo apain dia? Lo apain anak lo, Mas?"
"Bhara sakit." Arayi mengepalkan tangan, menggenggam hearing aids milik Bhara dengan penuh penyesalan.
"Dulu, begitu kamu pergi, Bhara menjadi anak yang sangat rewel. Mas dan Alsha sepakat untuk nggak ngikutin apa mau kamu. Alsha merasa dia nggak pantas, dia memaksa kami memulai cerita sejak awal. Sejak hari itu, Alsha nggak mau dipanggil bunda. Dia melatih Bhara untuk memanggilnya tante. Pun Bhara juga bukan anak yang sebodoh itu. Dia nyariin kamu terus. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun. Dia tetap ingat sama mamanya meski ada aku dan Alsha."
Seni membuang muka. Kali ini sedikit penyesalan mulai bercokol di dada.
"Hari itu, saat Bhara berumur 5 tahun, dia sakit sehabis pulang sekolah. Alsha kira Bhara cuma demam biasa. Jadi dia rawat seadanya. Bhara terus-terusan nyebut kamu, nyariin kamu. Sampai tengah malam, demamnya naik. Suhu badannya tinggi banget. Alsha sampai nyaris pingsan ketakutan saat dia ngecek Bhara dalam kondisi yang parah. Telinga Bhara saat itu sampai berdarah. Mas waktu itu lagi di Bogor, Ma. Begitu dikabarin kalau Bhara masuk rumah sakit mas langsung balik saat itu juga.
"Ternyata, Bhara terlambat ditangani. Demamnya karena virus. Sampai akhirnya berimbas ke sistem pendengaran Bhara. Sejak saat itu Bhara nggak bisa denger apa-apa tanpa bantuan alat. Tanpa ini. Beruntung, kemampuan berbicara Bhara nggak kena dampaknya."
Arayi meneteskan air mata. Peristiwa itu yang akhirnya begitu kuat menampar egonya.
Dulu, meski rasanya rindu dan kehilangan, ia merasa yakin bahwa Seni akan kembali dengan sendirinya. Ia yakin, di luar sana Seni tidak akan bisa melakukan apa-apa dan tidak akan pernah jadi siapa-siapa.
Ia yakin, hanya dia yang akan Seni tuju untuk kembali. Seyakin itu sehingga ia memutuskan untuk tak pernah mencari Seni dan tak menganggap penting setiap rengekan Bhara saat merindukan sang mama.
Bhara tak menangis saat diberi pengertian bahwa mulai detik itu ia menjadi penyandang tuna rungu. Justru Alsha dan Arayi yang meraung membabi buta setiap kali sepi menyapa.
"Yang kami lalui sejak hari itu adalah penyesalan yang bertubi-tubi, Ni. Kami sadar kami udah sangat berdosa terhadap kamu, Bhara, dan almarhumah ibu. Kami sadar, apa yang kami putuskan demi mendapat keturunan dengan memanfaatkan keadaan kamu adalah sebuah dosa besar." Arayi menghela napas. Lalu memberanikan diri menatap wajah cantik Seni dari samping.
Sementara istrinya itu kini memilih untuk menatap tajam lurus ke depan. Ke arah air kolam yang beriak perlahan, tidak seperti hatinya yang bergemuruh penuh bimbang.
***See You Tomorrow***
Day 27
Alhamdulillah Seni, Arayi, dan Bhara masih survive di GMG Writers 2022. Moga-moga kami dijauhkan dari tragedi keguguran ya, mohon bantuan doa dan dukungannya. Unch!
Ehiya, gimana gimana? Mana hujatan buat chapter 27 ini? Aku pengen panennnnn .... hihihiEDIT NOTE: Sumpah beneraan, ada yang DM minta maaf karena udah hujat2 tokoh di sini, beneraan aku maah nggak papa. Silakaan. Dari awal publish sampai sekarang cuma repost, aku nggak papa banget kalau temen-temen di sini pada kebawa emosi. Hihiihii. Pokoknya anggap kayak kamar sendiri. Heaaak!
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDUNG RUSUK RUSAK
RomanceTumbuh dari keluarga yang hancur sebab orang ketiga, Senandung Niluh Kaniraras tak menyangka bahwa masa depannya pun gagal diselamatkan. Sejak hari di mana kakaknya pergi demi hidup lebih enak dengan sang ayah, gadis yang biasa dipanggil Seni itu ha...