9. Mungkin Kamu Salah Pilih Istri Bayaran?

18.8K 2.3K 29
                                    

"Sarapan dulu, ya." Seni berkata dengan selembut mungkin. Takut menyinggung atau mengganggu Arayi. "Kata mama kamu suka lontong sayur. Udah aku bikini sp ...."

"Aku sarapan di kantor aja." Arayi menyela. Lalu kembali berjalan sebelum sentuhan tangan Seni di lengannya membuat bulu kuduk meremang seketika.

"Sebentar aja, Mas. Setidaknya, bikin aku ada fungsinya di rumah ini." Seni menekan kuat-kuat perasaannya. Ia paham, saat ini ia adalah seorang istri yang benar-benar tak dirindukan.

Arayi menghela napas. Lalu berbalik untuk berjalan ke ruang makan. Menatap sajian makanan yang sudah Seni persiapkan sedemikian rupa. Jujur saja, wanginya begitu menggoda. Tampilannya juga membuat naik selera.

"Aku tahu Mas mungkin nggak menghendaki pernikahan ini. Aku juga nggak tahu sebenarnya ada apa di balik mama yang minta aku jadi istri Mas Arayi. Tapi aku mencoba nggak peduli. Bagiku ini semua udah terlanjur." Seni mencoba untuk tersenyum. "Sekarang aku udah jadi istri Mas Arayi. Kalau Mas belum tentu mau jadi suami yang baik buat aku, setidaknya jangan larang aku untuk jadi istri yang baik buat Mas. Ya?"

Arayi berdeham. Menatap wajah ayu Seni pagi itu.

Lalu perlahan mencoba masakan Seni untuk pertama kalinya.

"Gimana, Mas? Enak?"

"Enak," jawab Arayi sekenanya. Memang enak, tak lebih dan tak kurang.

"Besok apa mau dibawakan bekal buat di kantor?"

Arayi menggeleng. Seni pintar mencairkan suasana memang. Biasanya, pagi tetap sesunyi tengah malam. Kali ini, lumayan ada pergerakan. "Aku bosenan. Males kalau pagi makan masakan kamu, siang lagi, terus malamnya juga."

"Oh gitu, ya udah deh." Seni masih mencoba untuk berbesar hati menerima jawaban itu.

"Ni, kamu menikah sama aku karena butuh uang, kan? Aku nggak mau ribet jadi bank berjalan buat kamu. Ini ada kartu ATM dan kartu kredit. PIN-nya tanggal pernikahan kita. Terserah mau kamu pakai buat apa. Yang jelas aku nggak mau kamu berisik-berisik minta uang, apalagi kasih sayang." Arayi membuka dompet, meletakkan dua kartu tersebut di hadapan Seni tanpa senyum.

"Makasih, Mas. Mas inget kan sama alasan aku menerima tawaran menikah dari mama, jadi kalau uang-uang itu aku pakai buat pengobatan ibu, masih boleh?"

Arayi mengangguk tak peduli. Ia segera menghabiskan makanan dan beranjak dari sana tanpa sempat Seni berkata-kata.

Ruang makan kembali sepi. Hanya ada dingin yang merengkuh Seni. Seolah hidup setelah menikah pun tak menjadi jalan keluar yang indah. Malah terasa serba salah. Makin tak terarah.

"Pernikahan macam apa ini, ya Tuhan?" Seni mendesah sedih.

***

Seni terdiam. Menoleh berkali-kali ke arah jam dinding. Sudah pukul 1 malam, bisa jadi Arayi memang tidak akan pulang. Jika memang ia setidak dirindukan itu, kenapa pernikahan ini begitu saja terjadi?

Kenapa Kamila begitu ngotot memilihnya sebagai pendamping hidup Arayi yang mungkin sebenarnya sudah memiliki wanita idaman lain di luar sana, yang lebih sepadan, yang lebih diinginkan.

Seni meneteskan air mata. Ia masih muda. Dalam hidupnya yang serba kekurangan, ia masih memiliki ambisi yang begitu tinggi. Tapi kini malah terjebak di ikatan pernikahan yang seolah tanpa cinta.

Kalau begini rasanya, Seni ingin pulang saja. Seni ingin membawa ibunya kembali ke Bogor. Tak peduli mama mertua yang akan keberatan, tapi menikah dengan Arayi benar-benar membuat Seni kesepian. Rasanya begitu sakit. Kadang Seni bahkan curiga dia mulai depresi.

Ayah tak punya, ibu tak lagi dekat adanya, suami tak cinta. Lengkap sudah penderitaannya.

Bukan sekali dua kali Arayi meninggalkannya sendirian seperti ini. Sudah masuk ke bulan kedua pernikahan. Bahkan bisa dihitung dengan jari jumlah Arayi pulang dan menemani Seni.

Sementara mama mulai menanyakan istilah garis dua. Tapi bagaimana garis dua itu jadi nyata bila tidur pun tak menyatu.

Seni baru saja menaiki ranjangnya tatkala mendengar pintu gerbang berbunyi gaduh. Lalu pintu ruang tamu terbuka, diikuti langkah kaki gontai yang membuatnya merinding seketika. Seni segera bangkit, menghampiri pintu kamar hendak menguncinya dari dalam saat sosok Arayi justru dengan beringas muncul di sana.

Penampilan Arayi begitu lusuh. Acak-acakan, rambutnya juga semrawut. Meski demikian tak ada tanda-tanda bahwa pria itu mabuk. Seni yakin Arayi masih sadar. Tapi mirip orang yang kesurupan.

"Mas, ka-kamu sudah pulang?" Seni mundur selangkah, membiarkan Arayi membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Iya aku pulang. Seneng kamu?" Alih-alih menjawab dengan ramah, Arayi justru membentak. Membuat Seni semakin menciut di tempatnya.

"Kenapa marah? Aku nggak minta kamu pulang, Mas." Meski demikian, Seni menguatkan diri untuk menjawab.

"Semua orang minta aku buat pulang, pulang, dan pulang. Padahal aku nggak pernah ngerasa kalau ini adalah rumahku!" Arayi berteriak, lalu menjatuhkan dirinya di lantai. Bersandar pada tembok dengan mengenaskan.

Seni yang tak mengerti ke mana arah pembicaraan Arayi hanya bisa terdiam. Enggan mencari mati bila bersuara.

"Aku tersiksa di sini, Ni. Aku tersiksa nikah sama kamu!" Kembali Arayi menjerit.

Namun lebih dari itu, kini hati Seni lah yang teriris perih tanpa bisa berkelit.

"Mama bilang aku bakalan bahagia kalau nikah sama kamu. Mana? Apa? Kamu nggak ngaruh apa-apa. Yang ada kamu cuma bikin hidupku jadi berat. Makin susah, Seni!"

"Ya terus kamu maunya apa?" Pada akhirnya Seni menjawab dengan suaranya yang tercekat. "Kamu dan mama kamu punya uang lho buat minta aku ngejalanin pernikahan ini. Jadi bukan nggak mungkin kan, kalian juga bisa gunain uang lagi buat bikin aku pergi?"

Arayi terdiam. Kali ini pria itu sadar bahwa ia telah bertindak gegabah dan mungkin saja sudah menyakiti Seni dengan begitu parah.

"Kalau ditanya aku sayang sama kamu apa nggak, ya jawabnya iya. Kamu udah jadi suami aku, masa iya aku nggak sayang. Malah udah sayang banget meski udah berusaha aku cegah-cegah. Kalau ada yang bilang aku mungkin udah cinta sama kamu ya aku iya-iya aja." Seni menunduk. Tetap berdiri di balik pintu sambil menatap Arayi.

"Terlepas sejak awal aku tahu kamu nggak cinta sama aku dan aku dapat uang dengan nikah sama kamu, aku berharap ini bener-bener jadi pernikahan yang bisa melindungi aku, Mas. Yang bisa ngasih aku kebahagiaan."

"Diem, Ni! Diem!" Arayi kembali berteriak, lalu berdiri menatap balik Seni.

"Kamu tersiksa di sini? Tersiksa sama aku?" Seni terkekeh lirih. "Kenapa kamu dan mama kamu nggak bayar cewek lain yang sesuai keinginan kamu, yang bisa bikin kamu bahagia aja buat nikah sama kamu? Kenapa aku?"

Alih-alih takut, Seni kini justru menghela napas. Lalu berjalan meninggalkan Arayi di ambang pintu. Seni menuju dapur. Terlihat sibuk membuat seduhan hangat dengan hati hancur lebur.

Tak lama, Seni tahu bahwa Arayi menyusulnya. Lalu berdiri di belakang dengan begitu canggung.

"Minum susu jahenya, Mas. Jangan pulang hanya untuk marah-marah ke aku. Asal kamu tahu, aku juga nggak sebahagia itu." Seni menoleh, memberanikan diri menatap mata Arayi dengan tajam.

"Bukan aku yang menawarkan diri. Aku cuma memanfaatkan peluang pernikahan ini untuk menyembuhkan ibuku. Tapi kalau kamu merasa dirugikan atas pernikahan ini, coba tanya diri kamu, atau mama kamu. Mungkin kalian yang salah memilih istri bayaran?"


***See You Tomorrow***

Day 9.
Edit: Republish Version, triple up deh biar seru. hihihii.

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang