4. Emang Ada Babu Yang Seganteng Aku?

26.5K 2.6K 53
                                    

Seni terbangun begitu alarm menyala. Pikirnya, ia masih memeluk Arayi, tapi pria itu sudah tidak ada. Segera menoleh ke arah nakas, takut 500 Euro-nya tidak ada juga. Untungnya uang itu masih aman.

Lumayan, bisa untuk makan enak seminggu!

Perempuan itu mendekati meja rias, mengambil ikat rambut. Lalu menatap malas bunga mawar yang tergeletak di sana. Pikir Arayi, dia bisa menebus segala dosanya dengan mawar-mawar murahan itu begitu? 

Seni terkekeh. Lantas membawa mawar itu keluar kamar.

"Damn!" Terpaksa deh mengumpat. Seni kira Arayi sudah pergi, ternyata malah sedang sibuk menginvansi dapur kesayangannya.

"Hai, udah bangun, Sayang?" Arayi menoleh. Lalu terkekeh melihat Seni yang masih memakai gaun malamnya, berdiri menatapnya tak percaya. "Asumsiku, kemarin kamu nggak sentuh sate yang mas pesan karena kamu sekarang udah jadi model terkenal. Jadi harus jaga pola makan. So, pagi ini mas buatin smoothie buat sarapan kamu."

Seni berdeham. Berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol air putih untuk ia minum dengan rakus. Arayi, Arayi! Pria itu maunya apa, sih? 

Dulu Seni cinta, Arayi tidak. Sekarang Seni sudah ikhlas menerima, Arayi yang gila.

"Lo lagi ada masalah apa sih, Mas?" Seni memutuskan untuk duduk setelah membuang bunga mawar dari Arayi ke tong sampah. Membuat Arayi sejenak tertegun menatap bunga itu kini tergeletak sia-sia. Boro-boro dapat ucapan terima kasih dari Seni. Malah dibuang!

"Ini pula, Belia ke mana, sih?" Seni hendak beranjak. Tapi suara Arayi lagi-lagi membuatnya murka.

"Belia mas suruh ke luar sebentar. Mas ingin ngelayanin kamu pagi ini."

Seni menggebrak meja. Marah luar biasa. Bagaimana bisa Belia mau-mau saja disuruh pergi oleh Arayi, padahal 30 menit lagi mereka sudah harus berangkat ke tempat pemotretan. Belum lagi setelahnya dia harus shooting video clip sampai malam.

"Lo kalau mau ngehancurin gue sekali lagi nggak gini caranya!" Seni meraih semangkuk smoothie buatan Arayi lalu melemparnya begitu saja. Arayi sendiri terdiam. Tidak menyangka Seni akan bereaksi seperti itu.

"Ini rumah gue, ini hidup gue yang sekarang, lo siapa datang-datang ngerusuh, hah?" Seni maju, meraih leher Arayi dan mencekiknya, membabi buta.

"Ni!"

"Lo sendiri kan yang dulu nyuruh gue buat pergi? Terus kenapa lo sekarang datang lagi dengan cara kayak gini? Lo belum puas nyakitin gue, hah?" Seni berteriak kesetanan. Nyaris meraih pisau dan menikam tubuh Arayi andai saja pria itu tidak sigap memeluk tubuh Seni alih-alih memberontak.

Arayi terdiam. Melingkarkan tangannya ke tubuh Seni. Membenamkan kepalanya ke pundak Seni, lalu memohon sabar di sana. Dulu, Arayi tidak memperlihatkan kesedihannya. Semua itu ia tahan berbalut ego selama bertahun-tahun.

Tapi hari ini, semuanya harus ia perlihatkan.

Arayi tidak sebahagia itu saat Seni pergi.

Arayi tidak seniat itu membuat Seni menyendiri.

"Maaf, Ni. Maaf."

Seni menghela napas. Sadar bahwa dia terlalu brutal. Seperti bukan Seni yang kemarin-kemarin. Sedang apa Seni sekarang ini? Emosinya ia tunjukkan untuk apa?

Apakah ia benar-benar marah karena Arayi dianggap mengganggu? Atau ia hanya sedang berpura-pura tak peduli lalu marah untuk melampiaskan kekecewaannya? Lebih parahnya lagi, apakah perasaannya untuk Arayi selama ini hanya sedang membeku saja, tidak terlupa sepenuhnya?

"Mas minta maaf. Belia nggak ke mana-mana. Mas cuma ingin nemenin kamu seharian ini, Ni."

Seni memejamkan mata. Melepas pelukan Arayi. Lalu menatap CEO yang berubah jadi pria cengeng itu dengan tajam. "Bikinin gue sarapan yang baru. Siapin barang-barang gue. Tiga puluh menit lagi harus udah siap gue nggak mau tahu."

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang