17. Tentang Harga Diri di Antara Nurani

21K 2.5K 92
                                    

"Seni, kamu ngomong apa, Nak?" Kamila juga berusaha mendekat. Duduk di samping Seni, berdua mengapit Seni bersama Alsha. "Ini semua salah mama. Mama yang sudah egois, Nak. Mama yang sudah egois sama kalian. Mama mungkin menjebak kamu. Tapi mama benar-benar sayang sama kamu dan Bhara. Mama juga senang bisa merawat ibu kamu. Demi Tuhan, maafin mama, Nak."

Seni mengangguk dan tersenyum meski terpaksa. Senyum yang diam-diam mencabik hati Arayi. "Seni juga minta maaf. Sepertinya Seni nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Seni nggak sekuat itu, Ma."

Akhirnya, roboh sudah pertahanan yang sedari tadi Seni coba bangun. Air matanya kini tumpah ruah. Membiarkan semua orang paham bahwa hatinya begitu lara. Seperti sudah pernah mati, lalu mati lagi.

"Seni minta, tolong lepaskan Seni, Ma, Mas. Aku minta tolong lepasin aku dari hidup yang kayak gini. Ya, Mas?"

Arayi menggeleng, balas menatap Seni dengan mata yang sama terlukanya. "Nggak. Aku nggak bakalan lepasin kamu."

"Buat apa?" Seni terisak keras. Matanya tak lepas dari sang suami. "Buat apa aku dipertahankan, Mas? Kamu mau aku sesakit apa lagi?"

"Aku nggak bakalan nyakitin kamu, Ni! Kamu ngerti nggak, sih!" Arayi rasa-rasanya begitu emosi. Hingga berdiri dan menatap Seni dengan tatapan murka. "Dari semalam aku udah minta sama kamu. Jangan minta pisah! Jangan! Kita bakalan laluin ini sama-sama. Aku janji aku bakalan jadi suami yang adil buat kamu dan Alsha!"

Alsha terisak pula. Kepalanya menunduk. Dalam diam, kini ia sadar bahwa sang suami sekarang benar-benar terbagi. Sejak dulu, Arayi selalu bertingkah seolah-olah tak cinta Seni. Tapi hari ini, di depan matanya sendiri, ia bisa melihat betapa Arayi takut kehilangan Seni. Meski semuanya harus dikeluarkan di balik kata-kata yang begitu pahit.

"Kalaupun kamu bisa adil, semuanya udah nggak bisa sama lagi, Mas. Mungkin, aku yang bakal gantian jadi istri yang buruk buat kamu." Seni menjawab lirih. Sementara Kamila menangis tersedu di samping menantu keduanya. Sama seperti Arayi, Kamila pun lebih tak rela jika harus kehilangan Seni.

"Jadi tolong, tolong banget. Lepasin aku, ya?" Seni mengatupkan tangan. Tepat saat itu Melati datang dengan wajah pucatnya. Sedari tadi, wanita itu mendengar semuanya.

Tapi terlalu hancur untuk ikut campur.

Begitu juga dengan Bhara yang tiba-tiba pulang sambil membawa es krim di tangan, lalu kebingungan saat ia melihat semua orang sedang menangis.

Arayi mengusap wajah. Kemudian dengan pikiran sempit, ia akhirnya mempunyai senjata agar Seni tak berani pergi meninggalkannya. "Kamu lihat ibu kamu yang sakit-sakitan, kamu lihat Bhara yang masih kecil. Kalau kamu minta pisah, emangnya kamu bisa apa? Kamu punya apa di luar sana? Kamu bisa apa buat ngebahagiain dan membiayai mereka? Ayah kamu sendiri bahkan udah ngebuang kalian, kan?"

Seni mengangkat wajah, sungguh sakit hati dengan apa yang keluar dari mulut Arayi. Sedangkan Melati yang kini bersimpuh di depannya, sama-sama berderaian air mata. "Seni."

"Seni harus gimana, Ibu?" Seni terisak kencang. Ia menatap wajah ibunya yang pucat. Lalu melihat Bhara yang perlahan mendekat dengan wajah ketakutan. Rasanya sakit sekali. Tak bisa memilih, tak punya cara terbaik untuk mempertahankan harga diri.

"Jangan pikirin ibu, Nak. Pikirkan kebahagiaan kamu. Ya?"

Arayi membelalakkan mata. Melati mendukung perpisahannya dengan Seni. Dengan kalut, pria itu bergerak maju. Meraih tangan Seni dan membawa istrinya ke dalam kamar. Dia sama sekali tak ingin Seni pergi. Persetan dengan cintanya kepada Alsha. Arayi sadar bahwa saat ini hatinya memang sudah benar-benar terbagi. "Kamu diem di sini. Nggak ada pergi-pergi. Kamu nggak akan ke mana-mana. Semua orang nggak akan ke mana-mana."

Lalu dengan tega, Arayi meninggalkan kamar, mengunci pintunya dari luar.

***

"Kamu makan dulu ya, Ni." Alsha mendekat dengan senampan makanan yang ia bawa ke kamar Arayi. Di sana, sudah dua malam Seni tak diizinkan keluar. Tak ada yang boleh meninggalkan rumah kecuali pria itu sendiri.

Seni sendiri berdiam diri di sudut ranjang. Ia terlalu malas bergerak. Di setiap sudut kamar Arayi ada bukti cinta sang suami dengan istri pertama. Ia seperti sedang dipaksa untuk melahap kenangan itu hingga berdarah-darah.

"Mbak Alsha cinta nggak sama Mas Arayi?"

Alsha terdiam dan memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang sambil menatap Seni. "Cinta, Ni. Di dunia ini mbak cuma punya Mas Arayi. Tapi sekarang, mbak bahagia bisa punya adik seperti kamu dan juga Bhara."

"Bhara?"

"Iya." Alsha mengangguk dan tersenyum. "Mbak udah lama ingin sekali ketemu kamu dan Bhara. Setiap kali ketemu, Mas Arayi pasti selalu cerita tentang kamu, tentang Bhara. Tapi, mbak cuma bisa lihatin kalian dari jauh."

"Mbak nggak benci sama aku?"

Seni menoleh, sengaja memberi pandangan tajam untuk kakak madunya. "Aku punya Bhara. Gimana kalau aku manfaatin anak aku biar Mas Arayi ninggalin Mbak Alsha?"

"Ni." Alsha tertegun di tempatnya. Menatap Seni dengan rasa tak percaya.

"Aku nggak mau jadi istri kedua. Aku nggak mau selamanya disembunyikan. Padahal akulah yang bisa kasih anak buat Mas Arayi. Bukan Mbak!"

Alsha kini tersenyum. Ia paham Seni hanya sedang kalut dan bersedih. Sepanjang ia mendengar cerita Arayi tentang adik madunya itu, Seni adalah sosok perempuan yang baik dan penurut. Jika sampai keluar kata-kata seperti itu, mungkin Seni hanya sedang meluapkan emosinya selama ini.

"Mbak nggak akan ninggalin Mas Arayi kalau bukan dia sendiri yang minta, Ni. Kami saling mencintai. Kalau kamu pikir di sini hanya kamu korbannya, lalu aku ini apa, Ni? Kamu bilang, ayah kamu juga nikah lagi, kan? Selama ini kamu tentu lihat bagaimana sedih dan hancurnya ibu kamu, maka aku nggak jauh beda dengan ibu kamu, Ni. Sejujurnya, aku pun sesedih dan sehancur itu. Tapi bedanya, ibu kamu perempuan yang sempurna sementara aku bukan."

Seni membuang wajahnya. Penyataan dari Alsha barusan seolah menggempur hatinya kuat-kuat. Pikirannya sudah terdoktrin sejak bertahun lalu, bahwa pelakor adalah manusia hina. Sementara sekarang, dialah yang menjadi manusia hina itu.

Sesakit-sakitnya hati Seni, sekarang justru ia yang merasa sangat bersalah kepada Alsha. Sebersit benci tentu ada. Sekilas ingin menang sepenuhnya juga ada. Tapi lagi-lagi, Seni dipukul mundur oleh kenyataan bahwa dia adalah istri kedua itu. Bukan Alsha.

"Jangan pikirin hati kita, Ni. Sekarang ada Bhara. Dia pasti nggak mau kalau kamu pisah sama Arayi. Ibu juga sedang dalam kondisi yang nggak baik. Jangan sampai ibu makin drop karena kita bertiga nggak bisa berdamai, Ni."

Alsha tersenyum sambil menyentuh pundak Seni. "Sekarang, kamu makan, ya. Nanti, aku bakal bilang ke Mas Arayi supaya ngebolehin kamu keluar kamar."

Seni diam tak menanggapi. Membiarkan Alsha keluar dari kamar, sementara ia kembali hancur dengan pergulatan batinnya.


***See You Tomorrow***

Day 17.
Ikut kontes ini karena sedang dalam rangka move on dari kematian Jeno, anabul yang kusayangi dan kucintai segenap hati. Berharap dengan mikirin daily, jadi agak terlupa gitu sedih-sedihnya.

5 Agustus Jeno mati, 29 Agustus anak-anaknya lahir dan kukasih nama Hellena, Lamima, Shotaro, Cordelia, dan Yuta. 

Sedihnya, hari ini 17 September, Lamima pun nyusul bapaknya. Nggak tahu kenapa tiba-tiba udah kaku di box bayi anabul. TT__TT

Tapi life must go on kan, ya. So does with this Seni and Arayi story.

Terima kasih yang udah vote dan koment. Komentar teman-teman terutama yang marah-marah dan maki-maki tokoh di SRR adalah sumber semangatku hiihihi.

Met malam Minggu. Yuk bisa yukk, komen marah-marahnya ditambah wakakakkaa.

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang