32. Pengorbanan Yang Mana, Istri Tua?

33.5K 2.8K 201
                                    

"Kontrak yang terpaksa Seni tanda tangani saat di Belanda gara-gara kamu yang secretly beli saham dan investasi ke agensi akan berlangsung selama 5 tahun di program kolaborasi dengan Doovervoort. Dan selebihnya, Seni menjabat sebagai tenaga ahli di Paradise Modeling School Jakarta. Di luar itu, memilih tawaran kerja yang masuk ke Seni adalah tanggung jawab patenku. Udah itu aja, nggak akan ada klausul-klausul tambahan seperti yang kamu minta, Mas. Termasuk menyingkirkan jabatan manajer dari tangan aku."

Arayi menggelengkan kepalanya sambil menatap Alvela dengan tajam. Perempuan yang lebih tua satu tahun dari Seni itu tampak garang. Bukan sosok pria, malah Alvela yang tampaknya akan jadi hambatan utama Arayi dalam memenangkan hati Seni.

"Mas." Seni berdiri, lalu meraih tangan Arayi sambil berusaha meredam emosi. "Tolong jangan egois. Gue bisa-bisa aja lho berhenti di awal kontrak dan membayar denda demi nggak usah balik ke Indonesia. Tapi lo lihat sendiri kan sekarang gue ada di sini? Di rumah lo lagi? Apa nggak cukup usaha gue buat masih menghargai lo sampai sejauh ini?"

"Sayang." Arayi bersuara, nyaris merengek. Sesuatu yang membuat Bhara sampai terbelalak karena baru pernah pertama kali mendengar sang ayah bersuara seperti itu.

"Kita jalani kontrak yang ada. Lo nggak perlu menyibukkan diri, nambah-nambahin kerjaan buat jadi manajer gue. Lo tetap di posisi lo sebagai CEO di Gajah Mada, sebagai komisaris di PM, dan investor di Doovervoort. Gue juga akan bekerja sebagaimana seharusnya sebagai talent dari agensi lo.

"Gue janji deh gue nggak akan ke mana-mana, yang penting lo jangan pernah berani ngejauhin gue dari sahabat-sahabat gue. Alvela dan Belia adalah orang-orang yang ngebantuin gue, nyembuhin gue, dari sakit yang dibikin sama lo di hidup gue."

Arayi menundukkan kepala. Lantas duduk kembali di kursi kerjanya. Rasanya panas. Ia hanya ingin selalu dekat dengan Seni. Menjadi manajer hanyalah alasan agar dia bisa melindungi Seni, dan menjauhkan Seni dari laki-laki di luar sana yang jelas terpesona dan ingin memiliki Seni. Kini hatinya begitu kalut dan takut akan kehilangan.

Seni adalah segalanya. Seseorang yang sudah menamparnya dengan pelajaran berharga.

"Lagian gue udah pernah bilang, kan. Gue dan kehidupan gue yang sekarang adalah konsekuensi yang harus lo terima kalau lo kekeuh mau tetap jadi suami gue." Seni mengembuskan napas.

"Secinta apa pun lo sama gue sekarang, gue mohon, Mas. Hargai gue sebagai manusia. Kasih gue waktu untuk menerima kembalinya gue ke kehidupan di sini. Itu semua nggak semudah seperti saat lo bilang lo udah berubah."

Sudah sejujurnya ia katakan, kembali ke Jakarta adalah hal yang sangat sulit ia terima. Bila ia kini terlihat baik-baik saja, itu karena Seni tidak ingin orang-orang melihat kerapuhan yang bersemayam kuat di sanubarinya. Seni menatap nyalang ke mata Arayi, lalu keluar dari ruangan itu dengan hati dongkol.

Di balik pintu ia sempat tertegun mendapati ada Bhara dan Belia yang berdiri mematung, dan tak jauh dari mereka juga ada Alsha yang menatapnya dengan nyalang.

"Kamu jahat banget, Seni."

Seni menegakkan tubuh. Mengangkat dagu dan berjalan mendekati Alsha. "Kenapa, mantan istri masih mau concern sama urusan mantan suami? Kenapa nggak ikut masuk aja tadi? Tenangin dia, usap-usap tangannya, kasih omongan manis, suruh dia ikhlas kayak yang dulu Mbak lakuin?"

"Seni, nggak seharusnya kamu bertingkah sejauh itu." Alsha mengepalkan tangan, memberanikan diri membalas perkataan Seni.

"Ada masalah?" Seni berseru, tepat di depan Alsha.

"Berhenti ngerasa kalau kamu adalah satu-satunya yang paling menderita di sini, Ni. Jangan menggunakan masa lalu sebagai senjata keangkuhan yang kamu punya sekarang." Alsha menyeringai kecil. Menatap Seni dengan penuh emosi.

SENANDUNG RUSUK RUSAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang