🏹33

4.1K 243 3
                                    

Hari buruk tidak pernah tertera di kalender manapun. Maka dari itu, tak ada yang pernah siap untuk menyambutnya. Kehadirannya yang datang secara tiba-tiba, begitu terasa kuat hingga mampu menghancurkan hidup seseorang dalam sekejap. Biasanya hal tersebut sering dimaknai sebagai 'takdir'.

Takdir yang tak bisa diubah. Takdir yang hakikatnya hanya bisa diterima. Dengan lapang dada.

Proses pemakaman Tio sore itu berlangsung singkat karena hujan turun sejak tadi siang. Bahkan langit pun ikut berduka untuknya. Di bawah payung hitam yang dipegang oleh Bima, Stephanie menatap nanar ke arah makam Tio yang kini tengah ditaburi bunga oleh Chyntia. Walau kacamata hitam berhasil menutupi matanya yang sembab, tapi ia tetap tak bisa menyembunyikan air mata yang terus mengalir deras.

Setelah Chyntia selesai, Stephanie pun maju untuk mengulangi hal yang sama, didampingi oleh Bima. Ia berjongkok untuk bisa lebih dekat. Namun ketika ia ingin menaburkan bunga-bunga tersebut, tangannya kehilangan tenaga. Ia benar-benar tak mampu melakukannya. Yang ada, ia malah terduduk dengan isakan yang semakin kencang.

Rasanya Stephanie ingin sekali menolak kenyataan bahwa mulai saat ini dirinya sama sekali tak bisa melihat, mengobrol, bercanda tawa, atau bahkan melakukan hal yang paling ingin ia lakukan saat ini; memeluk Papinya dengan begitu erat, seperti dulu lagi.

Bima langsung merangkul gadis itu. Ia mengelus pelan punggung Stephanie sembari berbisik untuk menenangkannya. Di belakang mereka, baik Dinda, Raina, Raka, Gio, dan Rafael, diam-diam ikut menitikkan air mata. Rasanya sedih melihat teman mereka yang biasanya selalu ceria, kini sedang berada di titik terendah.

Setelah kembali mengumpulkan tenaga, Stephanie akhirnya mulai menaburkan bunga ke makam Papinya. Selang beberapa menit kemudian, pemakaman yang tadinya masih cukup ramai, satu-persatu mulai pulang. Chyntia pun juga pulang karena kondisinya yang mengkhawatirkan, diantar oleh Raka dan lainnya. Kini yang tersisa hanya Stephanie dan Bima.

Hujan perlahan-lahan reda. Bima menutup payungnya lalu menoleh pada Stephanie yang kini merubah posisinya dengan menyenderkan kepala pada batu nisan Tio. Kacamatanya sudah ia lepas untuk menyeka air mata.

"Ternyata hidup tuh bisa berubah cuma dalam sehari ya, Bim?" ucapnya dengan nada yang sengau.

"Tadi pagi Papi masih ada di samping aku. Ngobrol sama aku. Ketawa-tawa bareng aku."

"Tapi sore ini, Papi udah gak ada lagi. Aku udah gak bisa ngobrol sama Papi lagi. Aku gak bisa bercanda sama Papi lagi. Aku gak bisa..."

Air mata kembali menggenang. Lagi dan lagi, Stephanie kembali menangis. Dadanya masih terasa begitu sesak.

"Aku gak bisa hidup tanpa Papi, Bim."

"Aku harus gimana sekarang?"

Bima menggenggam tangan Stephanie. Sedari tadi ia berusaha untuk menahan air matanya agar ia bisa terus menguatkan Stephanie. Karena yang harus ia lakukan saat ini hanyalah terus berada di samping Stephanie untuk menemaninya melewati seluruh kesedihan ini.

"Papi selalu ada di hati kita, Hanie. Papi gak pergi kemana-mana. Papi gak pernah ninggalin kamu barang sedetik pun," kata Bima sambil menatap wajah Stephanie yang begitu pucat.

"Kita pasti bisa lewati ini pelan-pelan. Yang kuat ya, sayang?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Stephanie. Bima pun memberikannya sedikit jarak untuk membiarkannya menghabiskan waktu di samping makam Papinya.

Dua puluh menit kemudian, langit perlahan-lahan mulai menggelap. Sedangkan Stephanie tak ada tanda-tanda ingin segera pulang. Bima pun kembali mendekatinya untuk membujuk gadis itu.

"Udah mau maghrib, Hanie. Pulang yuk. Besok kita ke sini lagi."

Stephanie langsung menggeleng pelan. "Kalau kita pergi, nanti Papi sendirian. Aku gak mau ninggalin Papi sendirian."

Mendengar jawaban itu, membuat Bima tak mampu lagi berkata-kata. Akhirnya ia biarkan Stephanie mengarungi seluruh kesedihannya di sini, sampai kapanpun yang ia mau. Yang penting ia tetap berada di sampingnya, menjaganya, dan menemaninya.

Karena kehilangan yang tak pernah direncanakan nyatanya memang sesakit itu.

***

"Gimana keadaan Hanie?" Bima langsung bertanya pada Dinda dan Raina yang kini sudah kembali duduk bersama mereka di teras rumah karena di dalam masih ada keluarga Stephanie dan beberapa orang yang berkunjung untuk berbelasungkawa.

"Demam. Tadi udah gue kasih obat. Sekarang lagi tidur," jawab Dinda.

Setelah akhirnya Stephanie setuju untuk pulang ke rumah, kondisinya benar-benar mengkhawatirkan. Wajahnya begitu pucat, dan bahkan ia tak punya tenaga untuk berjalan. Bima pun langsung menggendongnya menuju kamar. Lalu Dinda dan Raina dengan sigap mengganti bajunya dan memberikannya obat karena badannya terasa hangat. Setelah itu Stephanie langsung tertidur pulas.

"Mami gimana keadaannya?" Tanya Bima lagi mengingat kondisi Chyntia tadi juga drop.

"Sama. Waktu pulang langsung tidur." Kali ini Raina yang menjawab.

Setelah itu keadaan hening. Mereka sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Suara tangisan dari dalam rumah sayup-sayup masih terdengar. Kontras dengan hal itu, suara tawa anak kecil yang tak tahu apa-apa juga mengisi kekosongan di antara mereka.

Bukan hanya Stephanie dan keluarga saja, tapi mereka juga sama-sama ikut berduka dan tak ada yang siap dengan kejadian yang begitu mendadak ini. Namun mereka tak ingin memperlihatkan kesedihan tersebut agar mereka tetap bisa menjaga Stephanie dan keluarganya yang tengah berkabung.

"Kita harus bagi-bagi tugas. Ada yang jaga Stephanie, ada yang beli makan, dan ada yang jaga di sini untuk bantu-bantu," kata Gio memecahkan keheningan.

Dinda langsung mengangguk setuju. "Gue sama Raina bakal tetap di sini untuk jaga Stephanie. Kemungkinan kami juga bakal nginep. Kalian berempat pulang aja dulu untuk mandi dan ganti baju. Entar dua orang balik ke sini, dan dua orangnya lagi beli makan."

"Yaudah, kalau gitu gue sama Rapa nanti pergi beli makan. Bima sama Raka jaga di sini."

Setelah semuanya setuju, mereka berempat pun pergi ke rumah masing-masing untuk bersih-bersih terlebih dahulu. Sedangkan Dinda dan Raina kembali masuk dan berjalan menuju kamar Stephanie. Mereka dengan sopan melewati keluarga Stephanie yang tengah berkumpul di ruang tengah. Percakapan di antara mereka yang terdengar begitu menyayat hati, kembali menyadarkan mereka betapa beratnya kehilangan orang yang disayang.

Saat mereka sudah masuk ke dalam kamar Stephanie, mereka sama-sama terkejut karena gadis itu tiba-tiba saja terduduk dengan wajah ketakutan dan baju yang basah dipenuhi keringat. Padahal suhu di dalam kamar ini terasa dingin.

"Gue mimpi Papi udah gak ada. Itu cuma mimpi kan?"

Mereka terdiam. Tak ada satupun di antara mereka yang bisa menjawab pertanyaan barusan.

"Iya kan?" Stephanie mencoba kembali memastikan. Ia menatap mereka berdua dengan penuh harapan.

"Tolong bilang iya!" Jerit Stephanie memohon pada mereka.

Namun melihat mereka yang sama sekali tak bisa merespon ucapannya, membuatnya kembali dihantam kenyataan.

"Ternyata emang bener ya kalau Papi udah gak ada?" lirih Stephanie dengan bibir yang bergetar.

Raina pun langsung mengalihkan pandangannya karena tak bisa menahan air matanya. Sedangkan Dinda duduk di samping Stephanie untuk menidurkannya kembali.

"Lo butuh istirahat, Step. Tidur lagi yuk. Nanti kita bicaranya."

Stephanie sama sekali tak memberontak. Ia langsung meringkuk dan memejamkan matanya. Karena baginya akan jauh lebih baik dirinya tidur daripada harus menghadapi kenyataan yang begitu menakutkan; bahwa Papinya sudah tak ada lagi di sini bersamanya.


***

17 September 2022

My Possessive Boy FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang