"Lo kenapa?" Tanya Bima menatap Stephanie yang sedari tadi hanya diam sambil mengaduk milkshake stroberinya yang masih penuh.
Stephanie yang biasanya selalu ceria dan cerewet, tak biasanya berubah jadi sependiam ini. Apalagi saat ini kondisinya masih pagi, yang dimana energi masih terisi dengan penuh.
"Gak apa-apa," jawab Stephanie tak mau menatap balik ke arah Bima. Karena sekarang ia masih bergelut dengan hatinya.
"Berarti ada apa-apa," kata Bima langsung menyimpulkan. "Lo lagi mikirin apa?"
Stephanie menggeleng. "Gak ada mikirin apa-apa."
"Oh, main rahasia-rahasiaan sekarang?" Bima selalu tahu bagaimana caranya memancing emosi Stephanie.
Bisa terlihat tatapan sinis Stephanie langsung mengarah kepadanya. "Apaan sih?!"
"Makanya cerita dong, Hanieeee," kata Bima sambil menarik-narik tangan Stephanie seperti anak kecil minta dibeliin permen.
Saking pusingnya, Stephanie merasa nama panggilannya sekarang sudah terdengar seperti "Honey". Namun ia buru-buru mengenyahkan pikiran konyolnya.
"Gue gak apa-apa. Serius deh," balas Stephanie sambil melepaskan tangan Bima. Karena sentuhan dari Bima berhasil membuatnya seperti tersetrum. "Cuma lagi kepikiran satu hal aja."
"Apa?" Tanya Bima sambil fokus menatap Stephanie.
Stephanie segera menatap ke arah lain. Ia mempertimbangkan keputusannya terlebih dahulu sebelum akhirnya berkata, "Temen gue kemarin ada curhat sama gue."
"Siapa? Dinda?"
"Bukan, temen yang lain. Lo gak boleh tau namanya. Dia bakal marah kalau gue cerita ini ke orang lain."
"Ya udah, terus kenapa dia?"
Stephanie menunduk, menatap jari-jarinya yang kini saling bertautan. "Dia lagi punya masalah."
"Masalah apa?" Bima masih fokus menatapnya.
Stephanie terdiam sejenak. Masih ragu apakah keputusannya ini benar atau salah. Tapi akhirnya ia lebih memilih mengikuti kata hatinya. "Jadi ... dia tuh punya sahabat dari kecil gitu. Sama deh kayak kita. Tapi sahabatnya cuma satu."
"Terus?"
"Terus kemarin dia cerita kalau dia ... baper sama sahabatnya itu," lanjut Stephanie sambil menatap Bima untuk melihat reaksinya.
Namun sepertinya Bima tampak biasa-biasa saja. Malah menanggapinya dengan serius. "Kok bisa?"
Stephanie kembali menunduk lalu menggeleng. "Gak tau. Katanya sih sahabatnya itu lama-lama perlakuannya kayak beda gitu. Gak ngerti juga deh gue."
"Terus?"
"Terus ... dia bingung harus gimana. Dia nanyain solusi ke gue. Tapi gue juga gak ngerti harus nyaranin apa," kata Stephanie kali ini mendongak, kembali menatap Bima. "Menurut lo gimana?"
"Ya wajar sih kalau lo ikut bingung, karena lo gak pernah ngerasa kayak gitu," tanggap Bima yang tanpa disadari membuat Stephanie rasanya ingin sekali berteriak;
"NYATANYA SEKARANG GUE YANG LAGI NGERASA KAYAK GITU, BEGO! BARUSAN GUE LAGI NYERITAIN DIRI GUE SENDIRI!"
Tapi Stephanie hanya bisa menelan semua kata-kata tersebut.
Bima kembali melanjutkan, "Kalau menurut gue sih suruh dia tahan aja dulu. Jangan terlalu gegabah. Karena yang namanya proses sahabat jadi pasangan itu gak mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirin untuk kedepannya. Karena ini bukan cuma soal perasaan. Tapi juga pertemanan. Coba tanyain deh sama dia, kalau misalnya dia ditolak waktu nyatain perasaannya ataupun kalau nanti mereka pacaran dan tiba-tiba putus, emangnya dia udah siap untuk kehilangan sahabatnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boy Friends
Genç KurguOrang-orang ngeliat Stephanie beruntung banget, dikelilingi empat pangeran yang selalu protect dia dari mara bahaya di luar sana. Tapi yang mereka gak tau adalah Stephanie bahkan udah di level paling muak dan empet banget sama keposesifan mereka yan...