🏹29

5.3K 346 39
                                    

1 tahun kemudian...


"Sumpah? Selama setahun ini lo gak pernah ribut sama Bima?" Raina bertanya dengan wajah kaget setelah mendengar cerita Stephanie barusan yang mengatakan bahwa hubungannya dengan Bima setahun belakangan ini berjalan baik-baik saja tanpa hambatan.

Stephanie menganggukkan kepalanya. "Iya, makanya gue selalu bingung setiap lo minta saran gimana caranya baikan sama Raka pas kalian lagi berantem. Soalnya gue ngerasa gak bisa ngasih saran yang tepat karena gak pernah berantem."

Dinda yang ikut mendengar pun tampak skeptis. "Tapi kalian gak berantem bukan karena saling mendam amarah masing-masing kan? Mana tau kalian sengaja ngalah biar gak ada masalah."

Stephanie kali ini menggeleng. Ia mengunyah baksonya terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab, "Masalahnya nih ya, yang mau diberantemin itu gak ada. Semua berjalan dengan mulus. Kalau gue pengen ini, dia langsung turutin. Kalau gue bilang ini gak boleh, itu gak boleh, dia juga langsung turutin. Gue pun juga ngelakuin hal yang sama. Dan gak ada rasa keterpaksaan apapun di dalamnya. Pure karena kami saling ngerti satu sama lain."

Raina yang setiap minggu selalu ada keributan dengan Raka, dan Dinda yang masih menggantungkan hubungannya dengan Abi— mereka sama-sama tidak relate dengan ucapan Stephanie barusan.

"Emang beda sih ya kalau pada dasarnya udah saling bucin," kata Raina yang disambut anggukan setuju oleh Dinda.

"Pernah nih, waktu itu gue sengaja cari masalah sama Bima. Pokoknya gue sengaja mancing-mancing emosi dia. Apapun yang dia lakuin gue tanggap sinis. Tapi ... gak nyampe sepuluh menit dia langsung berhasil ngebuat gue gak bisa marah lama-lama. Kayak ... pacar gue tuh manisnya kelewatan anjir! Saking manisnya bikin gue gemes sendiri! Pengen banget gue kantongin kemana-mana biar gak diambil orang!" Seru Stephanie dengan wajah gregetan. Saat mengingat Bima yang selalu bersikap lembut kepadanya, membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak meremas tangan Dinda.

"ADUH! Sakit bego!" Jerit Dinda setelah itu membalas dengan memukul lengan Stephanie.

"Tenang aja, Step. Tanpa lo kantongin pun Bima gak bakal diambil orang kok. Dia sebucin itu sama lo," balas Raina.

"Iya. Santai aja lah. Gue yakin banget lo sama Bima itu jodoh."

Stephanie menyengir. "Aamiin! Gue juga berharap hal yang sama."

"Tapi gue rasa ... masalah kalian bakal dimulai setelah lulus SMA nanti sih, Step," kata Dinda secara tidak langsung menakuti, walaupun bukan itu maksudnya. Karena saat ini mereka telah menginjak kelas tiga, hanya dalam waktu beberapa bulan lagi mereka akan lulus dan lanjut mengenyam bangku kuliah.

"Oh iya juga. Bima mau ke ITB sedangkan lo ke UGM kan?"

Stephanie mengangguk lesu. "Iya, tapi kata Bima dia bakal sering nyamperin gue kok."

"Gue denger dari pengalaman Kakak gue sih dunia perkuliahan tuh beda Step sama SMA. Lo gak segabut itu untuk sering pergi-pergian— apalagi jaraknya jauh gitu."

Stephanie menyudahi makannya. Ia melirik sekitar kantin terlebih dahulu untuk mencari Bima dan yang lain— tapi nihil. Sepertinya mereka masih di lapagan basket.

Ia pun kembali fokus menjawab perkataan Dinda, "Iya sih. Gue sebenernya pengen ambil UNPAD biar deket tapi Papi gak bolehin. Katanya ntar gue malah sibuk pacaran. Pilihan gue cuma UI atau UGM. Gue masih mikir-mikir universitas mana yang lebih baik untuk gue ambil."

My Possessive Boy FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang