epilog

6.8K 473 2
                                    

cw//family issues

🐶 ♡ 🐻

Setengah jam setelah perbincangan singkat itu, Hema mengajak Jevian untuk duduk dibalkon kamar mereka. Katanya ia tak bisa tidur.

Jevian yang memang sama-sama tak bisa tidur menyetujuinya.

Maka, disini lah mereka. Dibalkon lantai dua villa dengan selimut melilit tubuh keduanya dan dua cangkir coklat hangat.

Hemalio duduk didepan Jevian diatas sofa yang memang diletakkan disana. Jevian dibelakangnya memeluknya erat hantarkan rasa hangat dimalam yang dingin.

Hema memegang tangan hangat diperutnya. "Jevian?"

"Mnn?" Jevian yang sedang menumpukan dagunya dipundak Hema bergumam.

"Aku... mau nanya boleh?" Jevian menatap sisi wajah Hema.

"Nanya apa...?" Hema terdiam sebentar.

"Jevian... gimana bisa punya... syndrome peterpan??" Ia bertanya dengan suara yang semakin kecil diakhir, takut menyinggung Jevian.

Jevian terdiam dan mengeratkan pelukannya, ia mengusap-usap hidungnya beberapakali pada tengkuk Hema sebelum berujar, "Ceritanya panjang Hema..."

Hema mengeratkan genggamannya ditangan Jevian dan mengelusnya.

"Kalo kamu mau cerita, mau seberapa panjang pun aku bakal dengerin Jevian." Jevian tersenyum tipis mendengarnya.

Ia hirup dalam-dalam wangi tubuh Hema sebelum mulai bercerita.

"Sebenernya aku gak tau harus mulai cerita dari mana..."

"Hema..."

"Mn?"

"Kamu inget pas pertama kali kamu ketemu sama Vian little space aku?" Hema terdiam, berpikir.

"Yang pas digudang sekolah? Yang kamu nangis??" Jevian mengangguk.

"Disitu aku pernah bilang... anak-anak dikantin bertengkar kayak papa sama mama..." Jevian menjeda sebentar dan kembali mengeratkan pelukannya.

"Dulu... Mama sama papa suka bertengkar Hema... rumah yang aku punya berisik sekali, gak ada kehangatan didalamnya."

"Papa juga suka maksa aku buat ikutin les-les yang sama sekali aku gak suka mulai dari aku masih di sekolah dasar. Kalau... disekolah aku dapat nilai dibawah 90 papa bakal bawa aku keruang kerjanya buat dipukul. Hhh..." Jevian menutup matanya coba menghalau gejolak emosinya, agar Vian tak keluar.

Hema menggigit bibir mendengar cerita Jevian, ternyata begitu pelik?

"Mama yang gak terima aku dipukulin papa bela aku dan bertengkar hebat sama papa." Jevian semakin mengeratkan pelukannya pada Hema dan mengatur napasnya yang mulai tak terkendali.

"Papa jahat Hema... hiks."

"Papa jahat..." Hema coba lepas pelukan Vian dan berbalik menangkup wajah kekasihnya yang sudah basah oleh air mata.

Hema elus dan hapus air mata yang turun dari manik hitam kekasihnya. Ia menatap iba pada Vian yang menutup matanya dan bergumam tak jelas dengan sesekali isakan keluar dari bibir tipis itu.

"Banyak suara barang pecah Hema... Vian gak suka... Papa bentak-bentak Mama buat mama nangis, jahat."

"Papa suka pukul-pukul Vian sama mama Hema... Papa jahat banget."

"Vian benci papa Hema... tapi... kata mama gak boleh..." Vian membuka matanya dan menatap Hema.

"Kata mama... Papa udah dapat balasannya diakhirat sana..."

"Tapi... Vian masih gak ikhlas... Kenapa... Papa bisa pergi gitu aja setelah ngelukain mama sama Vian..."

"Padahal, Vian belum balas dendam buat mama..."

Deg.

"Vi—"

"Hema, kalo aja papa gak nyuruh-nyuruh Vian dan bentak-bentak Vian. Vian gak bakal kayak gini... Papa buat Vian gak normal Hema...."

"Papa buat Vian dibenci banyak orang... Vian gak punya temen di SMP karena papa... Vian gak normal Hema hiks."

Grep.

"Ssh... Vian bukannya gak normal, bagi Hema Vian itu spesial..."

"Hema gak suka Vian bilang kayak gitu. Vian itu spesial bukan gak normal...." Vian kembali menangis dipundak Hema, ia peluk tubuh kecil Hema mencari ketenangan.

"Tapi, Arin bilang Vian kayak orang gila Hema... Vian gak normal."

Alis Hema menukik tajam mendengar nama perempuan yang disebut Jemian sebagi nenek lampir.

Oh? Jadi ini sebabnya Vian sampai trauma kalo ketemu nenek lampir itu? Sialan.

Gue bakal buat hidup lo gak tenang Arin. Berani banget lo buat trauma cowok gue.

Hema mendumel dalam hati dan mengeratkan pelukannya. Ia kecup leher Vian sebelum berujar, "Vian gak gila tapi si nenek lampir itu yang gila, Vian." Vian melonggarkan pelukannya dan menatap Hema heran.

"Arin gila?" Hema mengangguk dan menghapus air mata Vian.

"Orang yang suka bully orang lain itu gila Vian. Mereka gak punya kerjaan, cuman orang sinting yang suka gangguin dan ngelukain orang lain."

"Tapi..."

"Gak ada tapi Vian."

"Bagi Hema, Vian itu orang terspesial yang pernah Hema temuin."

"Vian gak gila maupun aneh atau gak normal."

"Vian normal banget bahkan luar biasa bagi Hema."

"Hema beruntung bisa ketemu Vian."

Vian menatap Hema dengan manik yang mulai kembali berkaca, ia kecup ujung bibir Hema dan membalas, "Vian juga beruntung bisa ketemu sama Hema."

"Cinta pertama dan terakhirnya Vian..."







Akhir




_____________________________________

Oke, ini beneran udah ya...

Gak ada chapter lain, buat kelanjutan kisah Vian dan Hema aku kembalikan ke imajinasi kalian masing-masing ya.

Maaf, kalo ending kemarin terasa kayak terlalu tiba-tiba dan menggantung (?)

Tapi ya karena sebenarnya book ini gak aku niatkan buat jadi book panjang, emang dari segi plot dan penulisan pun aku kurang mateng. So maaf buat segala kekurangannya 🙏🙏

Oh iya btw aku buat boncap d chapter selanjutnya hehehe.(boncep ya boncep lohhh) sok di scroll lagi aja~~

[nohyuck] little j (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang