Chapter 2

84.6K 5.3K 20
                                    

Selamat membaca semuanya

¥¥¥¥¥

Manusia ternyata lebih seram dari yang Alice bayangkan, dan gadis berumur sembilan belas tahun itu baru mempercayainya sekarang.

Gara-gara niat nekadnya untuk membuka isi flashdisk itu di laptopnya. Ia menjadi tak bisa tidur semalaman. Kerutan kantung hitam di bawah matanya bahkan sangat terlihat jelas seperti panda.

Bagaimana tidak, flashdisk itu ternyata berisi lima video penyiksaan manusia, serta beberapa file dengan kode-kode aneh yang tak bisa di pahami otak kecil Alice sama sekali.

"Astaga dragon, sepertinya aku harus bakar flashdisk ini deh." Kepala Alice menggeleng-geleng, mengangkat flashdisk itu ke depan wajahnya.

Drett Drett Drett

Ponsel yang tergeletak di atas ranjang tiba-tiba bergetar. Ia tebak pasti rentenir kemarin yang akan marah-marah dan menagih hutang padanya, karena nomor itu memang tak tersimpan dalam kontaknya.

Alice menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

Klik

"Sudah aku katakan nggak ada uang buat bayar! Nggak usah nagih-nagih lagi, deh. Tagih aja ke alam baka, tempat Bram tinggal sekarang!" Teriak Alice keras. Namun, tak ada sahutan dan makian seperti biasanya dari si rentenir.

"HEI, MAU NAGIH UTANG NGGAK SIH RENTENIR BANGSAT!" Maki Alice keras.

"...."

"Kembalikan flashdisk itu, saya akan lunasi semua hutang kamu. Red Devils meja nomor lima, jam empat sore."

"Apa, huh? Helo!"

"Hei!"

Bep

Panggilan langsung di matikan sepihak. Alice terdiam lama, matanya melotot, tubuhnya membatu di tempat. Seperkian detik kemudian tangannya terangkat, menyentuh bibirnya yang mungkin sudah pucat.

"Itu kan suara om-om kemarin, dapet dari mana nomer aku? Huah, Jangan-jangan, dia mau bunuh aku gara-gara flashdisk ini!" Alice membuang flasdisck itu ke lantai.

"Astaga. Aku dah liat isinya lagi!" Meringkuk, menggigit bibirnya gelisah.

"Alice sialan, kau dalam masalah besar sekarang!"

"AKHH!" Alice berteriak, menelungkupkan kepalanya ke atas bantal.

___________

Jam empat lebih sepuluh menit, Alice datang dengan hoodie besar yang ia gunakan untuk menutup separuh wajahnya. Penampilannya sekarang bisa di bilang mirip seperti stalker yang akan membuntuti idolanya.

Tring

Bunyi lonceng di atas pintu berbunyi kala ia membuka pintu kafe bernama Red Devils. Entah hanya perasaannya saja atau ia yang tak pernah kemari, namun sore ini kafe sangat sepi. Hanya terlihat tiga pengunjung pria yang duduk tenang di setiap pojokan kafe. Mata mereka seolah memperhatikan gerak geriknya.

Alice menggeleng, berusaha tak memperdulikan itu. Memantapkan hati, ia memilih berjalan mencari meja nomor lima, dan tentunya pria kemarin, pemilik flashdisk hitam di saku hoodie-nya.

Ketika tepat berdiri di balik punggung lebar pria yang tengah duduk tenang dengan mengenakan setelah jas hitam rapih seraya menyeruput kopi miliknya, Alice termenung.

Ck, apakah pria se-tampan itu benar-benar psikopat?

Sekuat tenaha Alice mencoba mengatur napas, membenarkan sedikit penampilannya. Setelah di rasa siap, ia lantas membawa kakinya pasti ke hadapan pria asing itu.

Trapped with the devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang