Selamat membaca teman-teman
¥¥¥¥¥¥
Pukul lima pagi Alice harus terbangun. Padahal ia masih ingin memejamkan matanya di atas ranjang mewah yang belum pernah ia rasakan selama sembilan belas tahun ia hidup di dunia fana ini.
"Ceplokkan telur ke dalam teflon, masukan sedikit salt, goreng sebentar, lalu angkat dan tiriskan. Yap, sudah jadi sarapanmu, tuan!" Ia mengakhiri masakannya dengan senyuman lebar, menghidangkannya ke depan Dante yang sudah duduk manis di kursi meja makan.
Pria itu memang tadi pagi menggedor-gedor pintu kamar Alice. Menyuruhnya bangun untuk membuatkannya sarapan. Entah setan dari mana, tapi sepertinya Dante terlihat menyukai masakan gadis itu.
"Hanya telur kau seheboh itu?" Dante menatap piring berisi nasi hangat dan telur mata sapi di depannya yang tampak biasa, tak menggugah selera.
Alice menarik kursi ke belakang, duduk di samping Dante. "Yang penting masakanku enak. Dan itu hanya bahan-bahan yang ada di dapur ini."
Tangan Dante bergerak, menyendokkan nasi dan telur itu ke dalam mulutnya. Mengunyahnya perlahan-lahan sambil di tatap intens gadis di sampingnya.
"Asin. Tak enak." Komentarnya datar.
Seketika mulut Alice berdecak kesal, merebut piring milik Dante, menggeser ke depannya. "Kalau begitu, biar aku yang makan!"
Dante menggeram, merebut piringnya kembali dengan cepat. "Aku akan memakannya karena lapar. Singkirkan tanganmu itu!"
Mulut Alice menggerutu, melepaskan piringnya. "Bilang saja enak. Gengsi dapat membunuhmu, tuan." Ejeknya sengit.
"Diam-lah. Lebih baik kau ambilkan aku minum!" Titah Dante seenak jidat.
"Hei, aku bukan pelayananmu. Ambil saja sendiri!" Tolak Alice mengibaskan rambut anti badainya ke belakang.
Dante berdecak, bangkit dari duduknya. Melangkah ke arah kulkas dan membukanya. Mengambil sebotol air minum dan menuangkannya ke gelas. Lalu membawanya ke meja makan.
"Jika kau butuh babu, kenapa tak membayar pelayan saja untuk kerja di sini?" Celetuk Alice, saat Dante kembali mengunyah sarapan yang di buatnya.
"Karena kau sudah ada. Kenapa repot-repot untuk mencari pelayan." Jawab Dante gamblang. Mata Alice melotot berang tidak percaya.
"Mulutmu-Ish!" Alice menggeram tertahan.
Dante mengabaikan gadis itu, memilih merogoh saku celana kain miliknya. Mengeluarkan dompet, mengambil sebuah kartu berwarna hitam, melemparkannya ke depan Alice.
"Pergilah bersama Adam ke supermarket. Belilah bahan-bahan untuk masak di sini." Perintahnya.
Alice langsung saja mengambil kartu itu. Membolak-balikkannya ke depan belakang dengan mulut terbuka lebar. "Wow, ini real kartu ATM tanpa batas itu?"
"Astaga. Aku gunakan untuk beli rumah saja yah!" Alice terkekeh kegirangan, mengecup kartu ATM di tangannya.
"Kau tak malu mengatakan itu?" Heran Dante, meneguk air minumnya hingga tandas.
"Malu ku sudah hilang tergantikan oleh kekayaan. Hihihihi ..." Alice tersenyum comel.
Ayolah, dia gadis yang sebelumnya hidup susah. Di berikan seratus ribu saja ia sudah kesenangan, apalagi bermiliar-miliar. Uh, rasa-rasannya ingin pingsan saja di tempat.
"Hm, harus beli apakah aku nanti?" Alice mengelus dagunya berpikir, otaknya membayangkan banyak hal untuk menguras kartu ATM di tangannya.
"Ekhem, aku juga akan ikut pergi denganmu." Ujar Dante, merubah keputusannya.
Kepala Alice sontak menggeleng-geleng. "No No No. Tidak mau. Aku mau belanja dengan Adam saja!" Tolak Alice cepat.
"Kau terlalu berkhayal kejauhan. Bisa-bisa kau beli sebuah perusahaan dengan kartuku itu." Sindir Dante mengejek kadar kehaluan Alice.
Wajah Alice memberengut. Sebenernya itu juga masuk dalam list nya tadi. Tapi sepertinya pemikirannya mudah di tebak pria bernetra biru ini. "Kalau begitu, aku tak mau pergi jika denganmu!"
"Leon, di mana senjata ku?" Tanya Dante pada Leon yang tak sengaja melewati ruang makan.
"Iya iya. Aku pergi denganmu, kampret!" Serobot Alice cepat, memutar bola matanya kesal.
_____________
Di supermarket cukup besar, di tengah kota, Alice tengah berbelanja bahan-bahan untuk mengisi dapur di mansion Dante yang memang sangat kosong. Bahkan lemari yang seharusnya ter isi bumbu-bumbu, tampak sudah di tinggali kaum laba-laba dan para pengikutnya.
Sedangkan Dante yang mengenakan topi dan jaket kulit hitam, memilih untuk mendorong troli di samping Alice dengan gerakan malas.
Lalu jangan lupakan juga dengan para bawahan pria itu yang ternyata ikut menyamar sebagai pembeli, berbaur dengan orang-orang sekitar.
"Ini atau ini? Tapi yang ini lucu, tapi yang ini juga besar." Alice mengangkat dua buah brokoli ke depan wajahnya.
"Memilih brokoli saja kau bingung, ambil semuanya!" Decak Dante tak sabaran, karena sedari tadi Alice terus pilah pilih tak jelas menurutnya.
"Diamlah. Mending aku bersama Adam saja kalau begitu!" Balas Alice, memasukan kedua brokoli itu ke dalam troli yang sudah tampak penuh.
"Aku juga menyesal ikut kemari." Ujar Dante, mendorong troli mengikuti langkah Alice menuju bagian pembayaran yang terlihat antri, tapi tak begitu panjang.
"Memang paling betul kau tak ke sini. Kenapa jadi ikut-ikut denganku? Dasar merepotkan!" Balas Alice sebal.
"Tcih, aku juga tak akan mau ke sini lagi." Sahut Dante dengan wajah ikutan kesal. Alice tak berniat menjawab, gadis itu lebih memilih berdiri di belakang seorang ibu-ibu yang tengah mengantri di depannya.
"Ck, berapa lama lagi antrian memuakkan ini selesai?!" Decak Dante tampak tak sabaran. Karena pria itu memang tak suka menunggu sesuatu.
Alice di sampingnya langsung mencubit lengan pria itu. "Bisakah kau diam. Ini supermarket, bukan daerah kekuasaan mu." Mata Alice memicing tajam.
"Kalau begitu, akan ku beli saja toko kecil ini." Jawab Dante enteng.
"Astaga, pria gila ini!" Alice tak bisa berkata-kata lagi, melipat tangannya ke depan dada, menghembuskan napasnya kasar.
Tak menunggu lama akhirnya kini giliran Alice bersama Dante. Gadis itu meletakkan sendiri barang belanjaan dari troli ke atas meja kasir. Karena Dante tampak tak ada niatan untuk membantunya. Pria itu hanya berdiri menjulang tinggi layaknya boss.
"Mas, kok nggak di bantu istrinya?" Seorang Kasir perempuan menyelutuk sembari fokus menscan kode barcode barang.
Dante mendengus, dan pada akhirnya membantu Alice dengan wajah terpaksa. Gadis itu memutar bola matanya, ia juga tak perlu bantuan darinya.
"Totalnya jadi dua juta sembilan puluh ribu." Ucap kasir. Alice langsung mengambil kartu milik pria itu di saku celananya, menyerahkannya ke pada sang kasir dengan senyum manis.
Si kasir tersenyum, menerimanya. "Semoga hubungan pernikahan kalian langgeng yah mas, mbak."
"Iya-Eh, dia bukan suami saya mbak!" Sentak Alice kaget.
"Lebih tepatnya pelayan saya." Koreksi Dante, menatap Alice di sampingnya yang tengah mendelik marah lalu menginjak ujung sepatunya kuat.
"Sialan. Aku bukan pelayanmu!" Desis Alice, menyipitkan matanya kesal.
Dante sedikit menundukkan kepalanya, menatap Alice lekat. "Lalu? Kau mau ku sebut sebagai istri?"
Alice tergagap, mengalihkan pandangannya ke depan dengan wajah memerah. "Ya tidak seperti itu juga, ah sudahlah, kau diam saja!"
______________
Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil
RandomBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...