Selamat membaca teman-teman
¥¥¥¥¥¥
Sudah satu hari berlalu sejak kejadian penembakan itu. Kondisi Alice sudah semakin stabil setelah dioperasi. Namun ia belum kunjung membuka mata. Padahal dokter berkata jika seharusnya Alice sudah sadar.
Dante memilih masuk, mengeceknya sendiri. Ia duduk tenang di samping Alice, memandang wajah gadis berkulit pucat itu dengan lekat setelah beberapa saat lalu ia pergi bertemu Adam dan beberapa bawahannya. Memerintahkan mereka untuk mencari tahu dalang penembakan.
"Apa kau pura-pura tidur lagi kali ini?" Dante membuka suara, mengisi sunyi senyap ruangan dengan nada beratnya.
"Aku harap kau segera bangun agar tak merepotkanku."
"Saat aku terbaring kaku begini saja kau masih memikirkan diri sendiri." Bukan suara Dante, melainkan Alice yang menyahut dengan mata terpejam.
Gadis itu ternyata sudah sadar. Ia memalingkan wajahnya pada Dante yang tengah memandangnya lekat. "Aku menyelamatkan nyawamu loh, apa kau tak mau berterimakasih padaku?"
"Aku tak memintanya. Kau sendiri, kenapa berlari mengorbankan diri untukku?" Dante mengangkat alisnya.
"Benar juga, kenapa aku menyelamatkanmu kemarin?" Alice mengerutkan keningnya. Berpikir sejenak dengan ekskresi polos.
Dante menggeleng, beralih mengambil makanan yang di siapkan untuk Alice di atas meja samping ranjang. "Lupakan itu. Sebaiknya kau makan sekarang."
Alice mengangkat alisnya. Menatap makanan di tangan Dante dengan wajah mengkerut jijik. "Euh. Tidak enak. Aku ingin makan ayam goreng dan pizza saja!"
"Walau tidak enak. Tapi makanan ini sehat untukmu." Tandas Dante, mengangkat sendok berisi bubur ke depan mulut Alice.
Alice mendengus, tak urung ia melahap makanan itu ke dalam mulutnya malas.
"Makanan ini jadi enak, coba tebak karena apa?" Alice bertanya dengan mulut sibuk mengunyah.
"Tidak tahu." Sahut Dante. Ia memang tak tahu.
"Karena pria tampan yang menyuapiku." Sahutnya, tersenyum comel.
Dante hanya terdiam. Pria itu tak sedikitpun tersipu ataupun kesal. Ekspresinya terkesan datar dan dingin. Alice hanya bisa mendengus kasar. Pria ini memang tak bisa di ajak romantis sedikit.
"Itu berati matamu tak rabun." Dante kembali menyendokkan makanan ke dalam mulut Alice.
"Bisa membedakan mana yang tampan dan yang jelek, kan? Ahay, ketebak!" Alice cengengesan.
"Bisa melihat ku secara langsung." Timpal Dante santai.
"Seperti kau orang penting saja." Alice berkata mengejek.
"Aku memang orang penting. Penting dalam hidupmu."
Alice mengedip-ngedipkan kelopak matanya. Memandang Dante sedikit tak percaya. "Kesambet yah?"
"Lupakan. Habiskan makanan ini cepat. Aku ada urusan penting sebentar lagi." Ujar Dante, berusaha mengalihkan perhatian.
Bola mata Alice berputar, sedikit mengangkat kepalanya. Bukannya sedikit nyaman, ia malah kesakitan. "Shh-"
Dante melotot, menaruh nampan makanan ke atas meja. Tangannya menahan bahu gadis itu agar tak membuat banyak pergerakan.
"Tetaplah seperti ini. Darahmu bisa merembes keluar jika kau banyak bergerak!" Dante sedikit membenarkan letak bantal di kepala gadis bersurai coklat itu hati-hati.
Alice menggigit bibirnya kuat. Merasakan sensasi nikmat sakit di tubuhnya dengan teriakan dalam hati. Tangan kirinya yang masih bisa berfungsi terangkat, memegang telunjuk Dante yang tengah sibuk mengecek tubuhnya.
"Tenanglah, Dante. Aku tak apa selagi kau di sampingku." Ujarnya pelan.
"Diamlah. Aku akan memanggil dokter kemari." Dante berniat pergi. Tapi Alice menggeleng, tak membiarkannya keluar.
"Dante, aku tak membutuhkan dokter, aku hanya membutuhkanmu. Tolong, tetaplah di sini. Jangan khawatir." Alice berkata dengan yakin.
Dante menghela napas, duduk kembali di samping gadis itu dengan tegas. "Kalau begitu tidurlah. Aku tak suka melihat wajah kesakitan mu itu."
Alice tersenyum, mengangguk. Ia menjadi seratus persen yakin jika Dante memang benar-benar kesambet. Tak mungkin seorang pria yang suka marah-marah berubah baik dengan cepat.
"Selama aku tidur, jangan pergi. Aku tak mau di tinggal sendirian." Ucap Alice, menatap manik biru itu dengan seulas senyum tipis.
"Kau bahkan memegang jariku dengan sangat kuat sekarang." Dante berkata dengan ketus, melirik tangan kiri Alice yang masih setia di jari telunjuknya.
Alice terkekeh kecil. "Anggap saja ini tali untuk mengikatmu di sampingku."
Dante berdecak kecil. "Aku sudah di sampingmu. Sekarang tutup matamu."
"Sebelum itu aku ada permintaan kecil." Alice tersenyum tengil.
"Apa itu?"
"Mataku terasa perih terkena debu di pelabuhan kemarin, bisa kau cek sebentar?" Pinta Alice.
Dante sontak berdiri, membungkuk ke depan wajah Alice, mengecek mata gadis itu dengan seksama. Tapi ia tak menemukan kejanggalan apapun.
"Tidak-"
Cup
Tanpa di duga Alice mengecup bibir pria di atasnya dengan cepat seraya terkekeh kecil. "Ketipu!"
________________
Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil
RastgeleBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...