Chapter 15

55.8K 4K 5
                                    

Selamat membaca teman-teman

¥¥¥¥¥

Pagi yang berawan ini, Alice duduk santai di meja makan panjang nan mewah milik Dante seorang diri. Menyantap sarapan yang di buatnya beberapa menit lalu dengan asal-asalan dengan hikmah.

"Nasi padang pasti lebih enak dari makanan ini." Alice bergumam, memasukan nasi dan irisan telur ke dalam mulutnya.

"Bosan juga jika hidup begini terus." Alice mengakhiri sarapannya, membawa piring miliknya ke cucian. Berniat berjalan ke ruang tengah, menonton televisi mungkin pilihan yang bagus untuk saat ini.

Tapi ternyata, ia malah mendapati Dante yang tengah duduk tenang sambil memejamkan matanya di sofa. Pria itu sepertinya baru saja kembali setelah tadi malam pergi meninggalkannya.

"DANTE!" Teriak Alice kencang, sengaja untuk membangunkan pria itu.

Mata Dante refleks terbuka. Netranya langsung menghunus tajam ke arah Alice. Gadis itu mengabaikannya, meloncat duduk di sampingnya.

"Dante yang baik dan ramah tamah. Bisakah kau izinkan aku keluar untuk berjalan-jalan mencari udara segar hari ini?" Alice tersenyum comel, berharap Dante akan mengabulkan permintaannya, walaupun mungkin itu adalah hal yang mustahil.

"Tidak." Jawab Dante acuh.

"Begini Dante. Kau tahu kan jika hutang ayahku belum lunas. Dan aku harus segera membayarnya. Jadi aku akan bertemu rente-"

"Sudah aku lunasi semuanya." Potong Dante.

"APAAA!" Alice berteriak kaget. "Ka-kau melunasinya dengan uang siapa?!"

"Menurutmu?"

"Uang yang ada di tas ku?" Alice menunjuk dirinya. Kenapa dia baru ingat jika tas berisi uangnya masih tertinggal di mobil Dante waktu itu.

"Ck, bukankah itu memang untuk melunasi hutang-hutang ayahmu?" Dante mengangkat sebelah alisnya.

Wajah Alice seketika tertekuk, ia bersedekap dada, menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. "Juga untuk impianku hidup di desa!"

"Mana lebihannya? Aku mau menyimpannya sendiri." Alice mengangkat satu tangannya ke depan wajah Dante. Karena jika di hitung-hitung, hutang ayahnya hanya tinggal tersisa sekitar lima ratus juta. Berati masih ada setengahnya di tangan Dante.

"Sudah habis, di bakar." Jawab Dante santai.

"Kau apa?! ishhh!" Alice memekik kaget. Padahal uang itu harta yang tersisa untuk keberlangsungan hidupnya nanti.

"Harusnya kau berterimakasih padaku karena telah melunasi semua hutang ayahmu itu!"

"Maaf menganggu waktu anda, Tuan." Adam tiba-tiba saja datang dari arah belakang mereka. Memotong pembicaraan Dante dan Alice.

"Ada apa?" Ujung mata Dante melirik Adam sejenak.

"Pesawat jet sudah siap di bandara. Tuan dan nona Alice, mungkin bisa berangkat sekarang." Ujar Adam dengan kepala tertunduk, lalu berbalik pergi, ke luar dari mansion.

Alice menyipitkan matanya mendengar ucapan Adam barusan. "Apa? denganku?"

Dante berdiri dari sofa, melihat jam rolex mahal di pergelangan tangannya. "Hm."

"Jangan-jangan aku mau di jual olehmu seperti perkataan mu waktu itu. Aku tidak mau!" Tolak Alice menggeleng-geleng cepat. Membayangkan kemungkinan terburuk dalam hidupnya.

"Memangnya siapa yang mau membeli tubuh jelek sepertimu." Ejek Dante, Alice mendongak, matanya melotot. Ternyata ibu dan anak tidak ada jauh bedanya.

"Lalu, untuk apa aku ikut denganmu?" Alice berkata dengan nada kesal.

"Tidak usah banyak tanya. Berdiri, dan ikut denganku sekarang!" Titah Dante tegas.

Alice mempertahankan posisinya dengan masih duduk di sofa. Bibirnya kini terlihat menyeringai. "Tapi ada syaratnya."

Dante mengangkat sebelah alisnya. Separuh wajah Alice tersenyum penuh arti. "Berikan aku kartu berwarna hitam itu!"

"Jika kau tak mau ya sudah. Aku tak mau kemana-mana. Lagipula aku juga takut denganmu." Gadis itu memainkan jemarinya.

Dante berdecih, mengeluarkan salah satu kartu miliknya yang tersimpan dalam dompet, melemparkannya begitu saja ke arah Alice. "Puas?"

Alice menangkapnya, bibirnya merekah bahagia. "Puas. Terimakasih, om tampan!"
__________

"Woah!"

Duduk di dalam pesawat jet milik Dante membuat mulut gadis berumur sembilan belas tahun itu terus melontarkan ocehan penuh kagum tak ada hentinya.

"Dante. Ini apa?" Alice mencoba menekan tombol di sampingnya.

Dante seketika melotot, mencegah Alice memencet tombol tersebut. "Kau mau mati? Itu tombol darurat, bodoh."

Alice melipat tangannya ke depan dada. "Aku kan tidak tahu. Ini juga pertama kalinya aku naik pesawat."

"Kalau begitu, lebih baik kau diam dan jangan melakukan apapun." Kesal Dante yang tengah memegang iPad di tangannya. Memantau perkembangan kapal pengangkut barang yang ia kirim tadi malam.

"Hish. Iya, maafkan aku karena terlalu ingin tahu!" Jawab Alice sedikit sebal.

"Ngomong-ngomong aku ingin makan. Apa tidak ada makanan satupun di pesawat mewah mu ini?" Mata Alice berkelana ke sekeliling. Mencoba mencari keberadaan pramugari, tapi yang ia lihat hanya Adam dan satu bawahan pria itu yang tengah duduk tenang di kursi depan.

Alice menoleh pada Dante yang tengah sibuk dan tak menjawab pertanyaannya. "Dante, di mana makanan nya?"

Dante mendesis, mematikan iPad miliknya lalu berteriak keras, "Adam."

Adam yang di panggil langsung berdiri, menghampiri Dante. "Iya, tuan."

"Ambilkan gadis sialan ini makan!" Titahnya.

Alice meringis tanpa dosa, Adam membalasnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Pria itu segera pergi ke kabin belakang. Mengambilkan makanan dan minuman soda yang tersedia di kulkas untuk Alice.

"Terimakasih, Adam." Alice tersenyum menerimanya. Adam mengangguk, duduk kembali di kursinya.

Dante memijat pelipisnya perlahan. Ternyata berlama-lama dengan gadis di sampingnya dapat membuat kepala dan kupingnya sakit. "Apa kau bisa diam sekarang?"

"Tidak tahu." Alice mengedihkan bahunya sembari melahap cake coklat ke dalam mulutnya santai.

______________

Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋

Trapped with the devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang